Pages

Selasa, 05 April 2011

One Dollar, novelku yg seruuuuu ^^


Let start One Dollar >.<


Satu

Pagi yang indah... Hani berjalan meninggalkan kosannya dengan senyum lebar. Dia memang selalu bersemangat. Kuliah itu mahal tauk, itulah yang slalu ia ingatkan pada dirinya sendiri. Bayangin aja pengorbanannya kalo harus kuliah selama 4 tahun. Kalo dia milih kerja 4 tahun, gajinya pasti udah ada lebih 40 juta. Nah makanya dia slalu berpikir kuliah itu benar-benar merugikan bukan membanggakan dibandingkan orang yang lulus SLTA tapi langsung kerja. Masalahnya kalo kuliah tuh kan mesti keluar kocek... Huh, Hani mendengus dalam hati. Tapi sekarang kebanyakan orang gengsi banget kalo ga kuliah dibandingin dengan ga kerja. Makanya Hani tak akan menyia-nyiakan uang keluarganya yang sudah susah payah membiayainya untuk kuliah.

Sekarang dia sudah hampir sampai di gerbang kampusnya. Sesaat sebelum sampai ke pintu gerbang kampusnya, Hani melirik kampus lain sebelah kampusnya. Kampus swasta yang lebih besar, lebih borjuis dan katanya dari kaum papan atas. Itu lho, anak-anak yang seneng foya-foya tapi otaknya kosong (ini sih julukan yang diberikan temen-temen Hani). Kata lainnya sih kampus Hani yang biasa itu sebenarnya bisa dibilang numpang di kampus orang. Yah kayak kampus pinggiran gitu. (teganya) Walaupun memiliki latar belakang sosial yang cukup jauh, tapi tidak pernah terjadi bentrok di antara mahasiswanya, pernah sih sekali tapi itu dulu banget. Itu juga terjadi lantaran salah paham doang, hanya karena beda pake merk sampo aja. Jadi waktu dulu ada 2 cewek dari 2 kampus yang berbeda yang ngotot kalo merk sampo yang dia pakelah yang paling tokcer. Tapi yang lain malah bilang kalo sampo itu sampo abal-abal, cuma iklan doang. Akhirnya suasana makin memanas. Cewek yang kuliah di kampus swasta terkenal langsung bawa antek-anteknya. Makin ricuhlah semuanya itu tapi untung bisa teredam karena lagi masa ujian. Hani sih ga begitu percaya dengan dongeng picisan begituan. Dia sih menganggap, nama kampus atau status sosial ga penting. Kan gimana orang yang ngejalaninnya. Sukses diukur bukan dari status sosialnya kan? Tapi dari usaha. Hani ga pernah bosan kalo ceramah beginian.

Biasanya kalau siang hari, mahasiswa 2 kampus akan saling berbaur di taman atau di kantin yang cukup luas itu. Sering kali ada ajang silahturahmi dan pertukaran mahasiswa. Maksudnya ajang keceng mengeceng. Incar mengincar. Walau terkadang cewek dan cowok kampus dimana Hani kuliah langsung ciut duluan lantaran strata dan tingkat saingan yang ketat. Tapi syukurlah aura intimidasi itu tidak mempengaruhi Hani dan teman-temannya. Dia sih ga peduli dengan semua itu. Baginya minder sama saja dengan mengasihani diri sendiri.

Hani berjalan masuk ke dalam wilayah kampusnya sambil bersiul. Jus alpukat di tangan kiri sedangkan roti kukus di tangan kanannya. Memang beginilah penampilan Hani, anak kosan yang merantau di Jakarta. Dia sih sebenernya asli orang Lembang sana. Anak kedua dari dua bersaudara. Walau dia bungsu tapi punya tingkat kemandirian yang luar biasa. Dia tahan ga pulang ke rumahnya selama 2 bulan, padahal Jakarta-Lembang ga begitu jauh.

Hani sehari-hari ke kampus selalu dengan stelannya yang khas : T-shirt, rompi hitam/abu, celana jeans dan tas ranselnya yang mungil (dipertanyakan apakah ia bawa buku paket atau hanya sekedar membawa binder seadanya)

Hani langsung mengambil tempat paling PW yang bisa ia temukan di kantin. Ia duduk sambil membuka koran yang tadi ia beli. Hanya satu incerannya. Lowongan kerja. Dengan gesit ia membalik-balik halaman untuk mencari kolom lowongan pekerjaan.

Hmm... kita lihat apa yang ada di sini...

Sementara itu di tempat lain, Andra berjalan gontai menuju mobil Honda Jazz-nya yang berwarna silver. Wajahnya yang cenderung datar (kurang ekspresi) namun tetap menunjukkan garis-garis ketampanannya, badan yang tinggi serta kharismanya yang menonjol meski ia tidak dengan terang-terangan menunjukkannya… Sebenernya sejak SMP dia jarang sekali bersosialisasi. Tapi memang saat SMP dia sangat dekat dengan para sepupunya yang gokil dan jahil kelas kakap. Dia pernah ikut menjahili sepupunya sendiri yang lebih tua yang satu sekolah dengannya. Itu memang yang paling parah. Sejak itu Andra kapok dan memilih untuk engga berkecimpung di dunia begituan lagi. Walau dia masih sangat akrab dengan para sepupunya.

Andra masuk ke dalam mobilnya, menyetel musik favoritnya, “Cayman Island” dari KOC.

“Through the alleyways

To cool off in the shadows

Then into the street

Following the water

There's a bearded man

Paddling in his canoe

Looks as if he has

Come all the way from the Cayman Islands…”

Sambil memainkan stir meninggalkan rumah, Andra sedikit terbengong. Beberapa waktu kemarin Nadira, pacarnya, sudah merengek-rengek untuk dibawa ke rumah. Tapi Andra tau kalau mamanya tak akan mungkin menyukai Nadira. Kenapa? Andra malas menjawabnya. Karena itu adalah jawaban paling ga masuk akal yang pernah ia dengar. Tapi tetap saja Andra tak mungkin membawa Nadira ke rumah. Bisa-bisa cewek itu diusir.

Andra menghela nafas.

Problem ya…

Terbersit pikiran sesat di benak Andra. Apa restu orangtua begitu penting?

Dia sudah pacaran dengan Nadira, teman kampusnya sejak setahun yang lalu. Ia dan Nadira memang sudah kenal dekat sejak SMA. Awalnya engga sih, Andra kan tipikal pendiem dan sulit bersosialisasi. Tapi lantaran pelajaran seni musik dan mereka sekelompok, mau ga mau Andra dan Nadira jadi akrab juga. Saat akhir SMA, tepatnya saat perpisahan, Andra meminta Nadira untuk menjadi ‘lebih dari temen’ Dan sekarang… mereka sudah kuliah tingkat 2, wajar kan kalau Nadira minta dikenalkan pada orangtuanya?? Tapi… ck… ini mungkin bukan masalah sepele.

Andra mendengus dan memilih untuk melupakan masalah itu sejenak. Pagi-pagi begini masa langsung stres.

Lowongan kerja… lowongan kerja… Harus dapat… Hani membuka-buka koran sampai akhirnya matanya menemukan kolom lowongan pekerjaan yang banyak sekali. Mata jernih cewek ini bersinar. Rambut lurusnya yang sepunggung ia kibas. Tangannya menjelajahi tiap kolom, mencari pekerjaan sambilan yang tepat.

“Aha!” Hani tersenyum lebar saat ia menemukan sebuah kolom kecil berisi lowongan pekerjaan di mini market, dan yang paling membuatnya gembira karena ternyata mini market itu tidak terlalu jauh dari kampus dan kosannya.

Cepat-cepat Hani mengeluarkan handphonenya dan menulis ulang keterangan lowongan pekerjaan itu. Dia bahkan sempat-sempatnya melingkari kolom itu dengan spidol merah, biar lebih pol lagi.

“Hoi! Lagi ngapain?” tanya seseorang tiba-tiba duduk di hadapan Hani membuat Hani sedikit terkejut. Fanny, salah satu teman dekatnya di kampus mengernyit pada Hani. Cewek yang berambut ikal sebahu dan yang memakai kaca mata ini memandang Hani dengan rasa ingin tau.

Hani enggan menjawab.

“Pasti deh lagi nyari kerja sampingan lagi kan?” Fanny melihat koran di hadapannya. “Ga kapok? Bukannya terakhir lo kena tipu? Dibilangnya jadi pelayan karoke eh nyatanya playan diskotik…”

Hani menghela nafas. Memang pekerjaan terakhirnya itu sanggup membuatnya trauma. Pekerjaan itu hanya bertahan selama 2 hari karena Hani yang merengek minta dikeluarkan saja daripada harus pulang pagi, dan menjadi pelayan diskotik? Horrible!

“Tenang aja. Kali ini gue bakal jadi pelayan mini market… deket kampus lagi…”

Fanny menatap sobatnya itu. “SPG maksud lo?” Fanny sih memang anak kosan juga, jadi ngalamin yang namanya dompet kering kalo akhir bulan. Tapi kalo sampe kerja sambilan, baginya itu lebay. “Han, napa sih lo giat banget pengen kerja sambilan?”

Hani tersenyum tipis. Dia memang tak pernah menceritakan masalah keluarganya pada siapapun. Dia memang termasuk tipe tertutup walau memang sangat ceria. Angel, keponakan Hani yang berumur 8 tahun punya penyakit leukemia dan berhubung keluarganya tidak mampu maka akan sulit untuk mengobati gadis kecil itu. Hani tau kalau gaji kerja sambilannya tak seberapa untuk pengobatan keponakannya. Tapi Hani ingin berusaha walau mungkin uang yang bisa ia hasilkan sangatlah sedikit.

“Mana Syifa?” tanya Hani mengalihkan pembicaraan.

“Belum datang.”

Hani membereskan korannya. “Ke kelas yuk…” ucap Hani seraya bangkit berdiri dan berjalan duluan meninggalkan Fanny.

Fanny menghela nafas dan mengikuti Hani menuju kelas.

Hani duduk di kantin, menyeruput lemon teanya sambil menonton dua sahabatnya yang ‘kebetulan’ ditemani dengan pacar mereka. Yang pertama Adrian, anak kampus lain. Hani melirik cowok berambut cepak itu, yang dari tadi sibuk ngobrol dengan Fanny. Hani menilai kalau cowok ini over protektif. Hmm… dan sedikit lebay (kalo soal jealous). Masa waktu itu saja dia cemburu sama Riko yang bahkan sudah dianggap cewek oleh semua cewek seantero kampus lantaran orangnya yang asyik banget dan punya hobi… pedicure??

Yang kedua, Reza. Hani memilih untuk memandang meja saja daripada memandang cowok itu. Ehm, mata cowok itu emang agak sedikit juling makanya Hani agak takut en ngeri. Tapi over all dia baik dan murah hati kalo soal traktiran, hehe. Reza sudah bekerja di sebuah instansi gitu. Syifa dan Reza sedang asyik senyam senyum olangan seolah tak menyadari kalau Hani sudah ingin teriak di depan mereka dan bilang “Hellow, anybody in here??”

Hhh… sudahlah, Hani… Namanya juga orang yang lagi pacaran… Dasar! Lupa kan ma gue…

Hani memutuskan untuk bangkit berdiri setelah menghabiskan minumannya. Dan sialnya, dua sobatnya itu ga nyadar sama sekali.

Hani berjalan gontai meninggalkan kantin besar 2 kampus itu. Gak tau sih mau kemana, tapi kayaknya bagus kalau jalan-jalan sendiri.

Andra dan teman-temannya sedang nongkrong depan mading. Teman-teman Andra emang rata-rata gokil, heboh, sok ganteng, TP, pokoknya tipe-tipe cowok pecicilan, walau Andra terlihat tidak mirip sama sekali dengan sifat-sifat itu.

“Menurut lo kampus sebelah gimana?” tanya Damar pada teman-temannya.

“Gimana apa maksud lo? Lo buta ya? Kampus kita tuh lebih hebat daripada kampus sebelah!” ucap Andi setelah bersiul pada seorang gadis yang baru saja lewat.

“Maksud gue cewek-ceweknyalah!” tukas Damar risih.

“Oohh..!” Ridan nyengir halus. “Napa? Ada yang lo taksir?”

“Ngga juga… tapi kayaknya manis-manis…”

Andra hanya tersenyum saja. Ia memilih untuk melihat mading dan berita yang ada di dalamnya.

Ridan menunjuk Andra dengan sebelah matanya. Damar dan Andi nyengir.

“Oya, ngomong-ngomong si Nadira ke mana?” tanya Andi keras-keras, sengaja memang.

“Iya ya..” ucap Damar tak kalah kerasnya sampai Andra menoleh, “Tadi dia ga kuliah ya?”

“Dia ada urusan…” jawab Andra datar dengan mata masih lurus memandang mading.

“Urusan apa? Ga lo anter?” goda Ridan.

“Ada urusan keluarga katanya.”

Andi tiba-tiba geleng-geleng dengan tatapan takjub. “Gue salut sama lo, Sob. Kalian tuh akur terus ya, en kayaknya baik-baik aja… Jodoh kali ya kalian… Ck ck ck… Kapan gue dapet jodoh… Cinta emang mudah datang dan pergi tapi jodoh cuma satu.”

“Iye…” ucap Ridan, “Nadira juga cantik banget, modis… Banyak lho yang naksir dia…”

Andra hanya tersenyum sekenanya saja. Dia memandang mading dengan pikiran yang menerawang. Tadi Nadira SMS kalau alasannya tidak bisa kuliah ialah karena ada urusan keluarga yang mendadak, semacam kumpul keluarga besar gitu… tapi tidak tau membicarakan apa.

Tak jauh dari sana, Hani berjalan sambil melamun. Kadang menatap jalan, kadang juga menatap langit, persis video klip lagu mellow dan putus cinta. Sebenernya yang sedang dipikirkan Hani ialah keponakannya yang sakit. Hani sangat sayaaang sekali pada Angel. Bukan hanya karena Angel adalah seorang gadis yang sangat manis, tapi Angel cukup dewasa. Dia tidak menangis saat divonis mengidap leukemia. Angel sangat ramah, baik seperti malaikat. Pokoknya Hani benar-benar tak rela kalau Angel sampai meninggal. Kematian ayahnya saja sudah membuat Hani sempat putus asa tapi untungnya Mama selalu mengatakan kalau itulah yang terbaik. Tapi untuk yang satu ini…?

Hani juga sempat memilih untuk tidak kuliah di Jakarta saja mengingat Mama juga yang sakit struk. Uhh… kenapa banyak yang sakit? Hani jadi merasa sudah menjadi beban karena kuliah di Jakarta, yang tentunya ngekos karena tak ada saudaranya yang tinggal di Jakarta. Itulah sebabnya Hani begitu semangat untuk mencari pekerjaan sampingan. Dia sama sekali tidak memberitahu keluarganya kalau dia punya kerja sampingan karna pasti akan dimarahi dan disuruh mengundurkan diri. Hani tidak bisa diam saja dengan kondisi keluarganya yang seperti ini.

Hani menatap langit, tersungging senyum hambar. Aku mana mungkin sibuk memikirkan pacar… kalau Fanny dan Syifa sih mungkin. Tapi aku?

Tuhan… tolonglah keluargaku… Aku mau semuanya sehat-sehat saja.

Karena melamun, Hani tidak sadar kalau ia sedang berjalan menuju 4 orang cowok yang sedang sibuk ketawa-ketiwi (meskipun Andra hanya tertawa kecil saja dengan mata masih menatap mading).

Tiba-tiba ponsel Andra bergetar sekali, pesan masuk dari Nadira yang isinya minta untuk dijemput.

“Kayaknya gue harus pergi sekarang… Nadira minta dijemput…” Belum Andra selesai dengan kalimatnya dan Damar bersuit-suitan, tas punggung Andra menampar muka Hani yang kebetulan berjalan sambil melamun. Hal ini terjadi lantaran Andra yang berbalik badan dengan tiba-tiba di saat Hani akan lewat.

Hani yang sedetik sebelumnya masih melamun mellow, darahnya langsung mendidih saat wajahnya terkena tamparan keras dan kasar tas hitam seseorang. Sakit dan menjengkelkan. Hani kan lagi bengong eh tiba-tiba pipinya kena timpuk gitu, mana enak kan?

Hani mendongak. Ia melihat sosok pria tampan di hadapannya. Satu kata yang terlintas di benak Hani saat melihat cowok itu adalah : ‘pangeran’. Tapi kena timpuk tetep aja sakit sekalipun yang melakukannya adalah cowok ganteng. Hani mengelus-elus dahinya yang tergores. “Sakit tauk.

Andra balas menatap. Datar. Seolah tak ada kepentingan.

Melihat cowok yang tidak merasa bersalah, Hani jadi naik pitam. “Bukannya minta maaf lagi!” tukas Hani terang-terangan ngambek dan ga nerima. Ini sih ga ada lagi ‘sorry-sorry’-an.

Andra tersenyum tipis, menganggap cewek satu di hadapannya ini berani juga nantangin cowok yang ga dikenal. Andra menyentil dahi Hani seolah Hani itu seorang anak kecil yang nyebrang sembarangan. Dengan tatapan setengah menertawakan, dia berkata, “Lo… yang jalan ga liat-liat.”

Apa? Hani melotot. Kurang asem banget ni cowok. “Heh, lo kali yang buta.” Cewek ini malah maju selangkah makin songong saja.

Damar dan yang lainnya malah asyik menonton, menganggap keributan kecil ini sebagai hiburan gratis. Jarang-jarang lho Andra bersikap kayak gini. Karena itulah tontonan ini makin menarik apalagi cewek itu juga keliatannya ikut ngajak berantem.

Andra terlihat tak peduli dan malah berbalik pergi dari situ setelah say bye pada teman-temannya.

Hani habis kesabaran, mana mau dia kalah sama cowok ketus itu. “Hei, jangan kabur, Cowok Sok Keren!” seru Hani tak terima diperlakukan semena-mena. Kata ‘Cowok Sok Keren’ mengalir begitu saja dari mulutnya, udah ga peduli kalo nyatanya cowok itu emang keren.

Hani masih mengelus-elus dahinya yang kena timpuk juga yang kena sentil. Dan sepertinya Andra tidak peduli, buktinya dia malah masuk ke dalam sebuah mobil silver tak jauh dari sana.

“Sialan...” desis Hani masih kesal. Sadar karena sedang ditatap oleh 3 cowok teman si Sok Keren, Hani langsung berjalan meninggalkan tempat itu, tidak menghiraukan kikikan mereka juga salah seorang dari mereka yang ngajak gabung.

Cih, dasar cowok sok keren.

Andra menoleh ke cewek sebelahnya. Nadira terlihat diam terus dalam mobil sementara Andra sedang menyetir menuju kampus. Tadi memang Andra menyangka kalau Nadira akan menangis saat dijemput di rumah saudaranya. Entahlah, muka Nadira agak lain, seperti ada masalah.

“Kamu kenapa?”

Nadira tertunduk. “Andra, aku sedih banget…”

“Sedih kenapa?”

“Kamu inget kan kalo aku pernah cerita, nenekku yang lagi sakit di Bali? Dan kabarnya, umur nenek ga akan lama lagi…”

Andra menoleh kaget. Dia bisa melihat air muka kesedihan Nadira. Dia memang ingat Nadira pernah menceritakan neneknya yang sakit keras karena umurnya yang sudah tujuh puluhan, sakit jantung ditambah darah tinggi. Nadira juga pernah cerita kalau neneknya itu tidak boleh mendengar kabar yang mengejutkan atau menyakitkan karena takutnya akan mempengaruhi kesehatannya.

“Dan… lusa semua keluargaku harus ke Bali… menemani nenek untuk yang terakhir kalinya…”

Andra hanya diam. Ia fokus menyetir saja, walau sebenernya ia berpikir juga, agak lebay memang kalau sampai semua keluarga harus di sana menemani.

“Dra…” ucap Nadira setengah merengek, “Lusa aku akan ninggalin Jakarta…”

“Berapa lama?” tanya Andra.

“Sebulan… Mungkin juga lebih…” Nadira menatap pacarnya itu, pengennya ia melihat raut ketidakrelaan pada wajah Andra yang emang miskin ekspresi itu. Atau yah setidaknya Andra mengatakan sesuatu bahwa ia tidak rela kalau harus berpisah dengan Nadira. Cewek ini tidak naif, dia masih mengharapkan dimanja atau dikhawatirkan oleh sang pacar.

Andra hanya menghela nafas. “Kalau urusan keluarga sih, dekan pasti mau ngerti kalo kamu mau cuti sebulan lebih.”

Nadira mencelos, agak kecewa mendengar kata-kata Andra yang sama sekali sarat khawatir itu. “Dra, bukan itu masalahnya… Aku… aku…” Nadira menahan nafas, “Kita, Dra.....”

Andra langsung menoleh. Baru ngerti sekarang arah pembicaraan Nadira, pasti mengenai waktu bersama yang jadi berkurang lantaran Nadira mesti ke Bali. Rasanya aneh, kok Andra sama sekali tidak merasakan hal yang sama? Apa sifatnya memang slalu seperti ini? Cuek, dinginbahkan pada pacar sendiri. Tapi rasanya terlalu tega kalau ia diamkan hal ini begitu saja.

“Oke…” ucapnya tenang, “Lusa kan kamu berangkat ke Bali… besok kita akan menghabiskan waktu bersama. Terserah kamu mau minta apa, pasti kukasih.”

Senyum Nadira langsung mengembang, senang tiada taranya. Baginya ini adalah hal yang paling romantis. Dia dan Andra memang sudah kenal sejak SMA tapi baru kali pertama inilah Andra mengatakan itu. Oleh kawan-kawannya saat SMA, Nadira sering disebut sebagai penghangat hati Andra yang dingin. Bagaimana tidak? Hanya Nadira, wanita yang sanggup berteman dekat dengan Andra. Yang lainnya tak bisa. Dan memang, Nadira menjadi salah satu pensukses Andra bisa lebih bersosialisasi seperti sekarang.

“Han! Hani……!” Syifa menyenggol-nyenggol lengan Hani. Syifa makin menyenggolnya dengan keras karena nyatanya Hani beneran tidur lelap.

Dengan mata setengah terbuka, Hani menggerutu, “Apa sih!”

“Mata kuliahnya udah selesai, lo masih aja tidur. Bangun woi.”

Hani menguap lebar-lebar dan memandang ke sekeliling. Iya, benar, kelas sudah sepi. Jam berapa sekarang ya?

Fanny menatap temannya yang satu ini dengan cemas. “Lo begadang ya semalem? Mata lo ampe item gitu… “

“Yah gitu deh…” ucap Hani lemes sambil membereskan buku-bukunya. Semalam ia pulang ke kosan jam 5 pagi karena kebagian shift malam jaga mini market yang emang buka 24 jam nonstop.

“Lo begadang apaan?” tanya Syifa to the point, karena baginya Hani bukan tipe orang yang rela begadang hanya untuk membaca buku padahal besoknya ga ada ujian atau tugas.

“Biasa, Nona-nona… Gue kerja…”

“Lo kerja apaan ampe mata lo kusem begitu?” semprot Syifa. Dia melotot ngeliatin mata Hani.

“Masih jaga mini market kok… Tapi minggu ini gue kebagian shift malam.”

“Gila lo ya, masa lo terima aja? Lo kan mesti kuliah paginya, ga mikir lo?” tukas Fanny.

“Arghhh…” Hani menghempaskan tangan dengan masih mengantuk. “Tenang aja… gue bisa bagi waktu.”

Fanny mendengus. “Bagi waktu apanya? Buktinya tadi aja lo malah tidur sepanjang perkuliahan. Lo niat kuliah ga sih? Bisa E nilai lo.”

“Duluan ya, gue mo langsung ke kosan. Mau bobo.” tukas Hani memilih untuk pergi saja dari tempat itu daripada terus-terusan kena ceramah. Dia bukannya ga peduli dengan nilai kuliahnya, tentu saja dia peduli, wong dia pengen cepet lulus dari kampus ini biar bisa langsung cepat-cepat kerja dan membantu perekonomian keluarga. Tapi… dia juga tidak bisa mengabaikan masalah keluarganya saat ini. Dia merasa dia wajib membantu keluarganya. Pekerjaan sambilannya saat ini adalah hal yang paling tepat.

Hani berjalan sedikit sesempoyongan saat keluar dari gerbang utama kampusnya. Hoahm, dia mengantuk sekali. Tak sabar ingin cepat-cepat langsung rebahan di tempat tidur. Nanti dia kerja jam 7 malam. Lumayan, masih ada waktu beberapa jam untuk tidur dulu.

Hani berjalan dengan tidak konsentrasi karena mengantuk, goyang kanan-goyang kiri. Bakatnya yang satu ini memang tidak pernah berubah : masih saja sempat-sempatnya mencuri-curi tidur selagi berjalan. Dasar orang aneh.

Karena keenakan jalan setengah sadar itu, Hani tidak melihat kalau di depannya ada mobil silver yang sedang berusaha mundur untuk parkir. Dan lantaran si pengendara mobil itu juga gak sadar, dia mundurkan mobilnya begitu saja tanpa melihat kalau ada orang yang sedang berjalan di sana.

Kebutaan dua orang ini tentu saja berakibat fatal. Kaki Hani terdorong oleh mobil itu ke belakang. Hani jatuh di aspal. Kecelakaan kecil ini sanggup membuatnya melek 100%. Dia bangkit berdiri dengan lutut yang sakitnya minta ampun. Sedari kecil dia belum pernah dapat celaka begini, makanya dia pingin marah-marah sekaligus menyalahkan orang yang telah membuatnya seperti ini. Dia ingin sekali mengumpat-ngumpat supir tak tau diri dari mobil Honda Jazz silver di hadapannya.

Deg! Melihat ada mobil Honda Jazz silver, Hani merasakan firasat buruk. Jazz silver? Mobil ini kan.........

Ekspresi Hani langsung pahit seolah baru saja menelan empedu karena teryata supir itu ialah… tak lain…

Dia lagi, si Cowok Sok Keren…

Si cowok keren yang dimaksud Hani keluar dari mobil. Wajah setengah terkejut setengah jengkel. Kedua alis Andra yang tebal itu langsung mengerut dan menyatu saat menatap Hani. Rasanya aneh karena ia harus berurusan dengan cewek yang kemarin yang ia duga pasti cewek ini akan lebih bawel dari kemaren.

“Lo lagi…” tukas Hani sebal. “Ini yang kedua kalinya lo bikin gue sial.”

Muka Andra sama sekali tidak berubah. Datar. Seolah kepentingan Hani tidak ia hiraukan sama sekali.

Hani menahan lututnya yang nyut-nyutan. Kali ini jengkelnya tak bisa ia sembunyikan lagi. Udah dia yang jadi korban, eh si tersangka malah diem, ga minta maaf atau apa. Kurang asem banget ni orang, ga punya etika apa. Hani menaikkan dagunya beberapa senti. “Heh, napa sih lo slalu melakukan sesuatu dengan sembarangan? Kemaren lo tampar muka gue sama tas lo itu, sekarang lo tabrak kaki gue sama mobil lo… Bisa bener ga sih jadi orang?”

Andra tersenyum angkuh mendengar kalimat terakhir cewek di hadapannya yang ia rasa sangat aneh. “Bukannya lo yang jalan ga bener? Ga liat ini tempat parkir? Dan…” Andra tersenyum tipis, “Pasti deh lo lagi ngelamun kayak kemaren…”

Hani menahan nafas. Darahnya mendidih. “Ha ha ha...” Hani mengucapkan tawa hambarnya dengan kata-kata, “Baru kali ini gue liat ada orang baik kayak lo.” Hani meringis dan bergumam sendiri, “Apa ini balasan karena gue tidur sepanjang perkuliahan? Tapi kenapa harus dia?!” Dalam hati dia berkata kalau kayak gini jadinya (kena hukum karma) mending dia paksa ngedengerin dosen ceramah deh.

“Baru kali ini juga gue liat orang yang jalan tapi ga pake mata.”

Hani makin berang. Tapi percuma saja kalau harus meladeni adu mulut ini karena pastinya ampe malem! “Makasih Cowok Sok Keren!” tukasnya lalu pergi dengan muka BT abis, mana lututnya nyeri banget sampai membuat jalannya terseok-seok. Apes gue…

Andra memperhatikan cewek yang baginya sangat aneh itu. Sampai detik itu juga Andra sama sekali tidak merasa bersalah walau sebenernya ingin mengakui juga kalau kejadian yang kemarin 100% kesalahannya, yah sekalipun cewek itu juga yang melamun.

Hani membanting tasnya ke lantai dan langsung menjatuhkan diri di ranjang sampai ia mengaduh keras karena baru sadar lututnya yang masih sensitive dan tidak bisa digubris.

“Arghhh!! Nyebelin!!” raung Hani. Belagu banget tuh cowok sok keren. Mentang-mentang cakep gitu en tajir jadi dia bisa ngebuat gue apes kayak gini?! Sebeeeelll… Napa sih tuh orang ga bisa bersikap baik sedikit aja?

Liat aja... Lo pasti bakalan kena karma! Pacaran sama cewek sinting. Huh!

Hani mengaduh karena lututnya sakit sekali. Entah karena sedang mellow atau apa, dia merasa kalau lututnya ini harus diperiksa ke rumah sakit. Tapi dia mana punya uang kan? Kalau saja cowok itu bisa perhatian dan membawanya ke rumah sakit karena siapa tau kan kalau kaki Hani ini ada kenapa-napanya setelah ditabrak? Atau mungkin sebulan kemudian kakinya langsung membusuk dan harus diamputasi. Hiiiii.......

Hani mendengus, membuang pikiran buruknya jauh-jauh. Pokoknya yang ia inginkan saat ini hanyalah tidur sampai tiba waktu jam kerjanya nanti malam.

“Gimana udah diberesin semua barang-barang kamu buat besok?” tanya Andra pada Nadira. Saat ini mereka berdua sedang makan di sebuah restoran malam itu.

Nadira mengangguk. “Udah…” Dia menerawang, hatinya mulai mellow apalagi di ruangan ini mengalun lagu mellow, “Besok aku akan pergi, Dra… Duuhh… aku pengennya ga pergi tapi kan…”

“Keluarga kamu tuh lebih penting. Kamu harus ngerti itu.”

Nadira menatap Andra yang sedang makan dengan tenang itu. Andra sama sekali ga berubah, masih sama seperti Andra yang kukenal dulu saat SMA… Tapi aku kan sudah menjadi pacarnya… Masa sikapnya mau sama saja seperti saat kami berteman dulu?? Dia…… dia benar-benar mencintaiku atau engga sih?

Tersadar sedang diperhatikan, Andra mengangkat kepala dan tersenyum hangat. “Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu?”

“Dra…” ucap Nadira setelah diam cukup lama, “Keberatan ga kalau aku mengenang saat masa SMA?”

Andra tertegun sesaat lalu hanya menggeleng. Masa SMA ya…

Nadira tersenyum sambil menatap vas bunga di depannya. “Waktu kelas 2 kita akrab karena aku pernah muji kamu karena kamu jago banget main gitar waktu pelajaran seni music. Dan sejak itu kamu yang sering dipanggil Ice Prince malah sering temen-temen jodohin denganku, inget ga?”

Andra tertawa pelan. “Inget… Waktu SMA aku emang pendiem en kurang bergaul, ya kan?” Andra ingat betul kalau dia memang agak jutek dan slalu bersikap dingin sehingga Andra bahkan tak mempunyai teman yang dekat. “Kemudian karena pelajaran Bahasa Inggris kita jadi sebangku… dan sejak itu aku sedikit demi sedikit mulai akrab dengan yang lainnya karena kamu…”

Nadira tersenyum. Pipinya memerah. Tidak disangka juga kalau Andra masih mengingatnya. “Kamu inget ga dengan karyawisata ke Bali waktu kelas 2? Hari terakhir kita asyik mengobrol kan di depan api unggun? Temen-temen yang lain sampai bilang kalo kita lagi PDKTan.”

Andra mengekeh pelan. “Yahh… Kamu adalah teman SMA pertama yang kuajak ngobrol sebanyak itu.”

“Oh ya?” Nadira tertawa. Tapi itu dulu… Dulu…… Sisi lain hati Nadira bukannya bahagia malah makin sedih dan terluka.

Andra menangkap mata kosong Nadira itu. “Nad?”

“Itu dulu kan, Dra…?” Nadira tertawa hambar. Ia menatap mata Andra lekat-lekat, berharap cowok itu menyadari perasaannya saat ini. Dulu aku dan Andra deket banget… menyenangkan… Rasanya dulu aku ini hanyalah satu-satunya teman ngobrol dan yang dibutuhkan Andra… Tapi sekarang… Andra udah ga kayak dulu lagi… Dia bukan Ice Prince lagi… Dia udah banyak teman… banyak sahabat…

Andra tersenyum, sama sekali tak menyadari dengan pergolakan batin yang dialami pacarnya. “Iya… sekarang untungnya aku ga seangkuh dulu lagi. Hehehe.”

Nadira menatap Andra nanar. Kenapa sih cowok ini ga peka? Apa benar kalau perasaan pasangan kita tidak peka maka itu artinya bukan benar-benar cinta?

Perasaan Nadira sudah tak dapat dibendungi lagi. Air matanya meleleh ke pipi.

“Nad?” Andra terkejut melihat reaksi Nadira padahal tadi lagi asik-asiknya ngobrol.

“Uh, maaf…” ucap Nadira sambil menghapus air mata. Dia berusaha tersenyum dengan kuat. “Kayaknya tadi aku terlalu mengenang masa lalu. Hahaha, bodoh banget ya?”

Andra terdiam, masih memperhatikan Nadira yang sibuk menghapus air mata. Andra jadi menangkap sesuatu yang salah pada cewek ini. Dia kenapa tiba-tiba nangis? Aku yakin pasti bukan karena mengenang masa lalu…

“Oh iya, aku ingat sesuatu…” sahut Nadira sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah gantungan kunci dengan boneka kucing hitam dia letakkan di atas meja. “Nih…”

Andra mengernyit menatap gantungan kunci itu.

Nadira tersenyum. Rasanya konyol dan tak berguna kalau menangis terus di depan orang yang sama sekali ga paham dengan perasaannya. “Dra, kamu inget ga saat kita ngobrol di depan api unggun waktu karyawisata ke Bali? Kita sama-sama suka kucing kan? Kamu nyeritain soal kucing kesayangan keluarga kamu yang hilang dicuri… Ng, mungkin kedengarannya bodoh, tapi hari itulah pertama… aku… aku mulai merasakan ada perasaan yang berbeda dengan kamu. Sejak itu aku menyadari kalau aku menyukai kamu… Jadi aku mau ngasih gantungan kunci ini ke kamu… Ga ada maksud lain… Aku cuma ingin kamu tau kalau sejak saat itu aku menyukai kamu. Titik.”

Andra mengambil gantungan kunci pemberian Nadira dan menatap boneka kucing itu.

Melihat Andra yang sama sekali tak mengatakan apa-apa, Nadira jadi ingin menangis lagi. Entah kenapa ia sangat mellow dan sensitive hari ini. Dia jadi mengingat semua kenangan lama dan membandingkannya dengan sekarang. Apa dia terlalu kekanak-kanakkan kalau berharap Andra bisa kembali menjadi Ice Prince seperti dulu dan bahwa hanya dia yang bisa menghangatkannya? Dan entah kenapa Nadira cemburu melihat Andra sudah berteman dekat dengan yang lainnya sehingga untuk saat ini Nadira bukanlah satu-satunya heart warmer untuk cowok itu.

Sebenernya aku ini apa di hadapan Andra…?

Air mata Nadira meleleh lagi dan kali ini Nadira tidak sanggup untuk berpura-pura kalau ia sedang terharu atau apa. Sementara di luar hujan turun dengan deras dan disertai dengan suara gemuruh petir.

“Nadira…?” Andra jadi tidak mengerti sama sekali, sebenernya apa yang sedang dirasakan cewek itu saat ini.

“Dra……” isaknya, “Apa salah kalau aku rindu sosok kamu yang dulu saat SMA?

“Nadira, maksud kamu apa?” tanya Andra tetap tenang.

“Karena sekarang… karena sekarang kamu lebih sering dengan teman dan sahabat kamu… Aku… aku merasa… sikap kamu pada mereka bahkan lebih spesial… padahal aku pacar kamu... Dan besok aku akan pergi ke Bali… ga bisa ketemu… Apa aku bisa melewatinya?” Baru akhir-akhir ini Nadira merasa kalau Andra adalah pria kedua yang paling ia sayangi setelah ayahnya, eh dia harus pergi ke Bali. Walau hanya sebulan tapi terasa begitu berat baginya. Dia berpikir kalau saat ia kembali Andra sudah berubah, melabuhkan hati pada orang lain.

Andra tersenyum lembut. Ia mengambil sapu tangannya dan mengusap sekali pipi Nadira yang basah dan kemudian ia meletakkan sapu tangan itu di atas punggung tangan cewek itu. “Aku mungkin sudah menjadi Andra yang berbeda saat SMA dulu, meskipun aku terkadang masih bersikap dingin. Kamu ga usah nangis, kita bisa melewatinya kalau hanya sebulan…”

Air mata Nadira semakin deras mendengar Andra bisa dengan entengnya menganggap sepele perpisahan selama sebulan ini. “Tapi

“Don’t cry… “ potong Andra. “I’m always love you… And I’m always your Ice Prince, never change…”

Kata-kata terakhir itu sanggup membuat Nadira berhenti menangis. Oh, akhirnya Andra mengucapkan kata kuncinya juga!! Memang, saat hendak pacaran saja Andra hanya bilang kalau ia ingin mencoba suatu hubungan lebih dari teman. Saat itu Andra sama sekali tidak bilang ‘I love you’, tapi sekarang… oh my god!!

Ah, sial, sial, sial!!!

Hani keluar dari mini market sambil menyesal sekaligus mengeluh. Sial banget aku hari ini… Dasar, Hani bodoh!!

Hani kembali mengingat kebodohan yang ia lakukan hari ini. Tadi saat pulang kuliah (dan tertabrak mobil si Cowok Sok Keren), Hani kan tidur sambil menunggu jam kerjanya. Eeehh… dia ga sadar sampai tidurnya kebablasan. Bayangin ampe jam setengah 9 malem!! Kontan manager mini market itu marah abis, dia bilang ini itu (yang jelas bukan memuji). Dia bilang kalau Hani ga becuslah, ga niat kerjalah (cuma niat dapat duitnya aja) dan sudah terlalu sering terlambat padahal pegawai baru. Dan sekalipun Hani sudah beribu-ribu minta maaf tetap saja itu tidak bisa mengubah keputusan manager untuk memecat Hani.

Akh! Sial banget sih aku hari ini… Hani ngedumel sendiri. Rasa-rasanya ingin melampiaskan marahnya dengan teriak-teriak ganggu orang lain yang happy dan ga punya masalah atau beban hidup kayak dia. (Tega banget ya)

Di depan mini market, Hani menengadah melihat langit malam yang pekat. Tidak ada bintang. Gerimis masih turun tapi ia tidak membawa payung saking buru-burunya tadi kesini.

Kakiku ditabrak… eh sekarang dipecat juga…

Wajah Hani yang tadinya kusut langsung mengeruh saat diingatnya satu nama. Wajah Hani langsung kelu. Angel… Hani menatap langit dengan sendu. Maaf ya, Angel, mungkin lain kali Kakak bisa lebih beruntung…

Hani melirik jam tangannya. Sudah jam sembilan lewat beberapa menit. Tapi hujan masih juga belum reda.

“Ah bodo amat deh…” Hani beranjak dari sana menerobos gerimis hujan. Walaupun sebenernya dia ga mau sakit tapi mau gimana lagi? Hujan ga mau berhenti sih.

Hani berjalan di trotoar dengan cepat sekalipun lututnya masih kesakitan lantaran kecelakaan kecil tadi siang. Ukh.. kalau saja lututnya tidak sakit, dia pasti bisa berjalan lebih cepat.

Dingin… Hani menggigil kedinginan, rambutnya sudah agak basah. Bajunya juga.

Tiba-tiba sebuah mobil melaju cukup kencang dan menyipratkan genangan air ke sekujur tubuh Hani.

Astaga… Hani terkejut dan menganga melihat dirinya yang kebasahan genangan air. Sebagian besar yang kena aadalah celana jeans dan bagian pinggang kaosnya. Mukanya juga kena ciprat sedikit, bahkan ia sempat merasakan rasa genangan air itu walau hanya samar-samar. Yaiks.

“Woi!!” tukas Hani berang pada mobil yang terus melaju itu, tidak peduli sama sekali. Hani memicingkan matanya penuh dendam saat ia melihat mobil Honda Jazz silver-lah yang telah menyipratkan air.

Si cowok sok keren… Dia lagi…?!

Hani menggeram kesal. Dia sudah cukup terluka dengan lututnya, sudah cukup terpukul karena ia kehilangan pekerjaan, dan sekarang… dia harus basah kuyup juga?

Kelewatan!!! Hani menyentakkan kakinya sekali. Tapi lantaran terlalu kesal dan kalap, dia sampai lupa kalau kakinya masih cidera. Hani mengerang pelan. Dia juga bersin sekali. Udah tiga kali aku sial karena dia… Hani menatap jengkel mobil silver yang makin menghilang dari pandangan mata.

Hani menggigil. Aku harus cepet pulang... jangan sampe alergiku kambuh lagi... Mulai menggigil...

Hani langsung berjalan secepat yang ia bisa menuju kosannya sebelum alergi dinginnya kambuh lagi.

“Aku pulang…” ucap Andra sambil membuka pintu rumahnya. Setelah mengantarkan Nadira pulang, pikirannya jadi agak mumet. Bayangan akan air mata Nadira yang mengalir tidak bisa enyah dari pikirannya. Entah kenapa Andra merasa kalau cewek itu tengah menangisinya yang berubah, berbeda dengan SMA. Tapi apa salahnhya kan? Toh dia berubah jadi lebih baik. Andra jadi pusing sendiri.

Di ruang tamu sudah ada Mamayang sepertinya sudah menunggunya sejak tadi. “Andra, kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang jam segini?”

“Tadi sama temen…” ucap Andra sekenanya. Dia tidak mungkin bilang kalau tadi bersama dengan Nadira. Mama pasti takkan suka mendengarnya.

“Temen yang mana? Sama anak si Febrianti itu?”

Andra menghela nafas berat. Mamanya memang slalu saja anti dengan semua yang berbau Febrianti, musuh bebuyutannya sejak SMA. “Namanya Nadira, Ma…”

Mama menarik lengan Andra untuk duduk di sampingnya. “Kan Mama udah bilang… kamu jangan temenan sama si Nadira itu… Mama gak suka. Kamu tau kan sikap Mamanya ke Mama waktu SMA?”

“Ma, tapi Nadira ga sama kayak Mamanya. Dia baik…” sahut Andra bosan setengah mati karena harus terus-terusan ngebahas beginian.

Sekali lagi, Mama mengeluarkan jurus ampuhnya untuk membuat Andra nurut : Mama pura-pura migran. “Pokoknya Mama ga mau tau… Kamu boleh berteman dengan dia tapi jangan terlalu dekat, jangan pacaran sama dia!”

“Tapi, Ma…”

Mama menatap Andra dengan seksama. “Katakan, apa jangan-jangan kamu pacaran sama dia? Iya?”

Andra tak bisa menjawab, ia memilih memalingkan matanya ke arah lain daripada membalas tatapan Mamanya. Kalau ia menjawab ‘iya’ pastinya masalah makin runyam, Mama nyuruh supaya Andra mutusin Nadira lah... ceramah segala macem lah... dan akan ada banyak ceramah tentang dunia percintaan lainnya. Andra sampai bosan.

“Andra! Jawab Mama.”

Andra langsung bangkit berdiri, muak dengan semua ini. Hari ini dia capek banget, banyak yang ia pikirkan dan bingungkan. Tadi Nadira menangis membuatnya bingung apa yang sebenernya dia tangisi, apa yang sebenernya dia mau. Dan sekarang, Mamanya... ngebahas hal yang sama sekali tidak penting.

“Iya! Andra ga pacaran sama Nadira, Mama puas?”

Mama ikut bangkit berdiri. “Bagus kalau begitu… Pokoknya kamu bawa pacar kamu ke rumah ini… Mama pengen tau kalau kamu memang bener-bener ga pacaran sama dia…” Mama menatap anaknya dengan penuh tanda peringatan. Beliau memang mempunyai firasat kalau anaknya itu sudah lama pacaran dengan Nadira. Dan kalau firasatnya benar, kenapa dia tidak menyuruh Andra membawa wanita ke rumah ini asalkan bukan Nadira, sebagai bukti bahwa anaknya ini ga pacaran dengan anak dari orang yang pernah ngegencetnya saat SMA?

Mata Andra terbelalak dan alisnya terangkat tinggi. “Untuk apa? Kenapa Andra harus bawa pacar Andra ke rumah ini?” tanya Andra jengkel, merasa mamanya korban sinetron.

Mama menghela nafas. “Nenekmu…” ujarnya lebih lembut, “Weekend ini keluarga kita diajak ke villa nenek yang ada di Lembang dan Nenek ingin melihat pacar dari cucu-cucunya.”

Andra ternganga spontan. Apa-apaan ini? “Memangnya ada acara apa sampai harus bawa pacar segala?” Ke acara pernikahan saudaranya saja Andra ga pernah ngajak Nadira... eh ini, acara yang lebih formal, malah disuruh bawa pacar.

Mama tersenyum. “Biasalah orang tua… selalu ingin tau pilihan cucunya…”

Andra tertawa hampa. Memangnya ini jaman apa sampai seorang nenek-nenek perlu tau cucunya berhubungan dengan siapa? Apa ga terlalu lebay? Toh dia masih muda, belum mau kawin ini.

Andra benar-benar tak tahan dengan semua kekonyolan ini. Dia lantas pergi dari sana menuju kamarnya setelah mengerang panjang. Pening nian kepalanya. Mama juga sepertinya tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

Bagaimana sekarang? Aku harus mutusin Nadira dan mencari pacar baru? Ini gila!! Semua kejadian hari ini bisa membuatku gila…

Dua

“Han, kaki lo kenapa?” tanya Syifa dengan alis mata yang terangkat sebelah, saat tau kalau jalan Hani tidak seperti jalan orang normal. Baginya seperti orang yang lagi ngesot.

Hani tak menjawab. Dia malas kalau harus menceritakan kisah sialnya seharian kemaren. Dia membenamkan kepalanya di atas meja kantin.

“Kenapa tuh?” tanya Fanny yang baru tiba.

Syifa angkat bahu, “Kecapean kali karna semalam baru kerja…”

Mendengar itu Hani malah merintih pelan. Kerja apanya… yang ada juga aku dipecat.

“Mau makan apa?” tanya Fanny pada 2 temannya itu.

“Gue mau makan nasi timbel aja…” jawab Syifa.

Hani mengangkat kepalanya, menunjukkan tampang mengasihankan. “Ada yang mau bayarin gue makan?” Suaranya agak serak karena flu. Semua ini tak lain karena badannya yang kebasahan semalam.

“Pass.” celetuk Syifa.

“Gue juga pass…” sahut Fanny.

Hani mendengus. Sejujurnya uang bulanannya sudah menipis… dia harus benar-benar menghemat.

“Gue pesen nasi timbel juga…” gumam Fanny, “Lo apa, Han?”

“Gue mie rebus aja deh…”

“Heh, jangan makan mie terus dong, ga sehat tauk!” celoteh Syifa.

“Iya nih… Lo makan mie tiap hari kan? Bisa bolong usus lo.” Fanny juga malah ikut-ikutan.

“Gue ga makan mie tiap hari kok…” desis Hani. Padahal di kosannya ada banyak persediaan mie instan.

Fanny hanya menghembuskan nafas kuat-kuat. Rasanya ga tega juga. “Daripada gue ngeliat usus temen gue bolong mending gue beliin lo nasi timbel juga.”

“Hah, yang bener? Lo mau traktir gue? Thanks banget!!” seru Hani seraya memeluk Fanny.

“Han, lo latihan dance hari ini?” tanya Syifa.

Hani menimang sesaat. Lututnya masih cidera, dia juga kurang enak badan karena flu. “Kayaknya engga untuk hari ini… Gue flu.” Sebenernya Hani benci, benciiii sekali kalau tidak ikut latihan dance. Di kampusnya memang ada ruang latihan khusus untuk anak klub MD (modern dance). Hani yang emang punya hobi nge-dance akhirnya ngebela-belain masuk walaupun jam latihannya yang termasuk jam malam, ampe jam 8. Apalagi Syifa dan Fanny langsung nolak mentah-mentah waktu diajak ikutan. Mereka menganggap nge-dance tidak bisa menghasilkan uang sama sekali, hanya bikin pegal-pegal dan stres karena mesti ngapalin gerakan. Sedangkan bagi Hani, dance seolah menjadi bagian dari dirinya, yang harus ia lakukan. Bukan hanya sekedar olahraga melainkan sebagai suatu kegiatan yang membuatnya senang dan dapat melupakan masalah. Syifa dan Fanny yang pernah melihat Hani nge-dance mengatakan kalau Hani seperti bukan Hani biasanya yang supel dan ceria saat menari. Kelihatan berbeda, seperti cewek yang misterius dan dingin namun berkharisma di saat yang bersamaan. Mendengar itu Hani hanya tertawa. Dia memang selalu serius kalau menari. Untuk hobinya yang satu ini, Hani siap menyediakan waktu. Dia merupakan salah satu anggota aktif di klub itu.

 

Malam itu sekitar jam delapan malam, Hani pergi ke mini market untuk membeli barang yang ‘urgent’ (tentu saja ia tidak mau ke mini market tempat ia pernah bekerja dan… dipecat). Hani lebih memilih untuk ke mini market lain walau memang jalannya lebih jauh.

Betapa terkejutnya saat ia hendak masuk ke mini market karena hampir menabrak seseorang. Tebak siapa?

“Lo…” ucap Hani tanpa suara saking kagetnya. Ia mendengus melihat si Cowok Sok Keren yang hampir saja ia tubruk. Saat ini dia pasti sedang diikuti Dewa Sial atau apa sampai 3 kali berturut-turut bertemu cowok ini. Harusnya sih dapat piring cantik, kan udah 3 kali.

Andra menoleh sebentar. Ia mengernyit sesaat lalu pergi, masuk ke dalam mini market.

Hani mengacungkan tinju sambil ngedumel tanpa suara. Pengennya aku tabok sekarang tu orang…

Hani pun ikut masuk ke dalam mini market, menjaga jarak sejauh mungkin dari cowok itu, karena pikirnya siapa tau dia ketiban sial lagi kalau berada radius 5 meter dari cowok itu. Namun ia mewaspadai cowok itu juga yang ternyata pergi ke rak softdrink.

Dia ngekos di sekitar sini? Tapi ah ga mungkin… kayaknya dia tinggal sama orangtua… Trus ngapain masih ada di sekitar kampus? Baru pulang??

Hani tertegun sesaat. Cih, ngapain aku mesti peduli. Hani buru-buru mengambil barang yang hendak ia beli : pembalut, obat flu (dia pilek lantaran kehujanan en keguyur genangan air hujan semalam), balsem (untuk lututnya yang sakit bener), dan 2 bungkus mie instan. Biasalah anak kosan, ngirit, jadi belinya yang beginian. Sialnya saat hendak ke kasir, ia hampir menubruk si Cowok Sok Keren itu. Lagi.

Mereka hanya saling menatap sesaat lalu kompak buang muka di detik yang kelima. Hani jalan duluan ke kasir, pingin lebih dulu membayar dari Andra. Dia ga mau kalo kalah dari cowok itu walau hanya urusan ngantri ginian doang.

Agak malu jugaHani meletakkan barang belanjaannya di depan kasir, yeah sementara Andra ada di belakangnya sedang menunggu dan tentu saja melihat barang yang dibeli Hani. Tau gitu dia mempersilakan cowok sok keren itu yang bayar duluan lantaran Hani malu banget kalo dia beli pembalut. Hiii... ketauan merknya kan jadinya.

Hani melirik dengan tatapan membunuh sedangkan Andra tak peduli kalau cewek di depannya sudah menahan diri setengah mati untuk ga mencak-mencak.

“Sembilan ribu delapan ratus…” ucap pelayan kasir setelah menghitung lalu memasukkan belanjaan Hani ke dalam plastik.

Hani meraba celananya dan baru sadar kalau ternyata ia memakai celana piyama dan uangnya berada di celana lain! Orang macam apa coba yang pergi ke mini market dengan menggunakan celana piyama? Hani emang kadang sedeng dan amnesia juga. Sebenernya waktu pertama kali liat, Andra udah hampir ketawa dan alisnya juga terangkat satu. Tapi Hani menterjemahkannya sebagai songong.

Muka Hani membiru. Duitnya gak ada!!! Astaga duitku...ketinggalan!!

Pelayan kasir mengernyit sesaat melihat tingkah Hani. Andra sih langsung ngeuh kalau pasti duit tu cewek ketinggalan atau apa. Lantas Andra mendorong pelan tubuh Hani untuk minggir. Hani terdorong pelan ke depan. Ia menoleh ke belakang dengan tatapan berang. Apaan coba ni cowok, ga sopan amat.

Andra meletakkan sekaleng Pocari dan sebungkus potato di meja kasir. Pelayan kasir agak bingung juga namun akhirnya ia memutuskan untuk menghitung belanjaan cowok itu dulu. “Semuanya sebelas ribu dua ratus…”

Andra mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan. Ia melirik Hani yang masih keliatan berpikir keras bagaimana caranya untuk membayar. Andra tersenyum tipis.

“Saya juga mau bayar belanjaan cewek itu…” ucap Andra.

Hani terbengong. Dia... mau ngebayarin aku??

Akhirnya pelayan kasir menyatukan barang belanjaan dua pembeli itu dalam satu plastik dan menyerahkannya pada Andra. Dalam hati pelayan kasir itu menduga-duga apa 2 orang itu adalah sepasang kekasih yang sedang musuhan? Entahlah.

Hani yang masih kebingungan akhirnya mengikuti Andra yang keluar dari mini market. “Hei…”

Andra berbalik dan hampir saja Hani tabrak. Andra memandang Hani sesaat lalu mengambil Pocari dan Potato-nya, sisanya ia berikan pada Hani.

Meski agak aneh namun Hani menerimanya saja. “Makasih…”

“Semuanya satu dollar…” gumam Andra pelan.

“Hah?” Hani benar-benar ga ngerti.

“Ga baca koran? Satu dollar itu persis dengan apa yang kamu beli barusan…” Andra tersenyum lalu berbalik pergi masuk ke dalam mobilnya.

Wajah Hani sudah terlihat seperti orang bego sekarang. Dia ga mengerti dengan jalan pikiran laki-laki. Apa hubungannya satu dollar dengan pembalut, obat flu, balsem dan mie coba?? (Hani masih belum ngeuh kalau 1 $ = Rp 9800)

Andra terbengong di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya. Ia pun mengeluarkan gantungan kunci pemberian Nadira dari laci lemari. Ia mengangkat gantungan kunci kucing itu di depan mukanya.

Andra menatap gantungan kunci itu begitu lama. Dia jadi kembali ingat dengan sikap Nadira yang tiba-tiba menangis dan bilang kalau ia merindukan Andra yang dulu, saat SMA.

Memangnya ada apa dengan aku yang dulu?

Yang dia ingat dirinya saat SMA kurang baik, maksudnya dalam segi sosialisasi dan berteman. Bukan berarti Andra yang tidak mau berteman tapi emang lantaran sifatnya aja yang dingin dan jutek. Awalnya dia sama Nadira juga ga akrab tapi karena mereka satu kelompok dalam pelajaran Seni Musik mereka jadi sering ngobrol. Waktu itu Nadira minta diiringin saat nyanyi. Kebetulan lagu kesukaan mereka sama. Cayman Island. Andra bahkan pernah membelikan roti di kelas saat istirahat di depan teman-teman Nadira! Otomatis sikap Andra yang jarang ini dianggap spesial oleh teman-teman sekelas. Sejak itu mereka dijodoh-jodohin. Akhir kelas 3, Andra minta Nadira untuk menjalin hubungan yang lebih dari teman. Entah maksudnya apa. Sejujurnya Andra juga belum ngerti yang namanya cinta. Yang jelas, dia merasa nyaman bersama dengan Nadira.

Kenapa dia nangis?

Andra menggoyangkan gantungan kunci itu sekali. Andra mengernyit tak mengerti.

Mama menatap anaknya beberapa detik sampai akhirnya berkata, “Mana pacarmu itu?”

“Pacar apa?” Andra meletakkan gantungan kunci kembali ke laci.

“Lho? Kamu sendiri kan yang bilang kalau kamu sudah punya pacar?”

Andra memutar kedua bola matanya. Dia lebih suka mamanya datang dengan menanyakan kuliahnya daripada urusan beginian. Bukan berarti dia ga mau terbuka. Tapi rasanya momennya ga pas gitu. Datang-datang langsung nanyain pacar. Serasa dia kagak laku aja. “Kapan Andra bilang gitu, Ma?”

Mama jadi keliatan bingung. “Pokoknya kamu harus ajak pacar kamu ke rumah untuk makan malam sebelum weekend ini kita ke villa nenek.”

Andra mendengus. “Andra ga akan ikut kok weekend ini…”

“Andra!” tukas Mama mulai jengkel, “Ini acara keluarga… semua sepupu kamu ikut, kakakmu ikut, masa kamu ga ikut?”

Membayangkan Vino dan sepupu lainnya yang kocak, gila dan menyenangkan, sebenernya Andra sudah tertarik. Dia yakin kalau orang-orang itu akan sanggup membuat acara keluarga menjadi tidak membosankan. Tapi kalau harus membawa pacar? Andra mana mungkin ikut! Pacarnya adalah Nadira tapi Mama ngotot ingin dia pacaran dengan orang lain. Jaman macam apa ini? Jaman Siti Nurbaya?

Mama menghela nafas. Sebelum keluar dari kamar, beliau berkata, “Ingat ya… lusa kamu bawa pacar kamu itu ke rumah, kita makan malam bareng.”

Andra langsung membanting tubuhnya di atas kasur. Kenapa hidupnya harus diatur gini? Kalo disuruh bawa Nadira ke rumah untuk dinner okelah. Tapi ini.... disuruh bawa cewek yang bukan Nadira. Mamanya pikir, Andra playboy apa, punya 2 cewek sekaligus?

Bawa pacar ke rumah?? Gimana caranya? Apa aku mesti telepon Nadira dan bilang putus? Andra geleng-geleng sendiri. Atau cari pacar baru tanpa sepengetahuan dia?

Ini gila… aku bukan tipe cowok kayak gitu…

Andra menerawang. Atau… bisa pake cara lain… ‘Menyewa’ pacar untuk sementara waktu sampai acara keluarga selesai? Tapi siapa??

Andra memilih beberapa nama cewek teman sekelasnya. Ada Sarah ataupun Marsha. Dua-duanya jomblo dan cantik… Tapi gawat kalau Nadira sampai tau… Lagian gimana kalau ternyata aku jatuh cinta sama mereka? Ngga-ngga, ngga boleh. Aku harus bisa menjaga hati sampai Nadira pulang…

Dia terdiam sambil memejamkan mata. Tiba-tiba seolah mendapat ilham, Andra langsung teringat dengan cewek yang di supermarket dan yang pernah kena timpuk tasnya. Ya, mungkin dia bisa… cewek yang bukan teman kampus, dan aku juga ga mungkin jatuh cinta sama dia.

Andra duduk bangun sambil menjentikkan jarinya. Ia tersenyum. One Dollar girl…

Hani berjalan sendirian di Taman Malaikat. Taman ini adalah satu-satunya batas antara dua kampus yang bersebelahan itu. Dinamakan seperti itu konon katanya tempat pendamai bagi mahasiswa dua kampus yang tingkat social dan entertainmentnya jelas-jelas berbeda. Di taman iniselain kantinmahasiswa kedua kampus bisa berbaur. Tak hanya karena alasan itu saja taman ini dinamakan Taman Malaikat, di tengah-tengah taman ada sebuah patung klasik malaikat setinggi dua meter (katanya sih buatan Eropa, tapi ga tau juga kalau ternyata anak Seni yang buat). Hani sangat menyukai taman ini, selain adem, melihat patung itu dia jadi ingat sama Angel.

Hani duduk di depan patung. Ia membaca buku sambil mendengarkan musik. Kuliah selanjutnya masih setengah jam lagi, dia malas kalau mesti balik ke kosan, asiknya kan kalau nunggu di taman. Dua sobatnya asyik makan di kantin. Hani udah diajak tapi Hani nolak dengan alasan kenyang (padahal lagi bokek)

Tanpa ia sadari, Andra sudah berdiri di depannya, sudah dua kali mengatakan “hei” tapi ga digubris Hani lantaran keasikan baca buku dan kupingnya juga disumpal earphone.

Budeg apa ni cewek. Karena gemas, Andra pun melepas earphone yang bertengger di telinga cewek itu. “Hei…”

Kaget, Hani mendongak. Makin kaget karena yang mencopot earphonenya bukan Fanny atau Syifa tapi si Cowok Sok Keren. “A-apa?” tanyanya karena merasa sedikit terganggu. Dia mau ngapain? Mau ngajak berantem?

“Bisa ngobrol bentar?”

Hani heran namun mengangguk saja. Ia pun berdiri, berhadap-hadapan dengan Cowok Sok Keren itu. Ngeliat tas punggung yang dipake tuh cowok, Hani jadi mengkel, kembali teringat dengan insiden dahinya yang ditampar tas itu.

Andra tersenyum. “Sebelumnya gue perkenalkan nama gue dulu. Nama gue Andra…”

Hani tersenyum ragu. “Hani…” Hani memandang cowok bernama Andra itu. Kesimpulan Hani saat melihat cowok yang satu ini belum berubah : tampan dan punya daya pikat. Aneh… kenapa dia ngajak kenalan? Masa dia…….???

“Gue mau lo jadi pacar gue…” ucap Andra dengan masih tersenyum dan menatap Hani.

Hah? Apa? Tadi aku ga salah denger kan?? Hani menatap Andra melotot setengah tak percaya. “Apa?” desisnya.

Andra mengangguk mantap membuat Hani makin ingin pingsan. Ini pertama kalinya dia ditembak cowok (ck ck) apalagi oleh cowok berkharisma kayak Andra!! Jantung Hani langsung berdetak dengan cepat, wajah memerah, dan otaknya berpikir keras. Dia suka sama… aku? Hani menelan ludah dalam-dalam. Apa dia merasakan love at the first sight gitu samaku??? Jadi… ternyata… dia suka padaku? Hah sejak kapan???

Patung malaikat yang berdiri di antara mereka pun menjadi saksi kalau Hani tidak sedang bermimpi atau salah denger. Sedang pilek bukan berarti dia bisa berhalusinasi macam-macam kan?

Astaga… apa ini saat yang tepat memiliki seorang belahan jiwa? Hani berusaha mengatur nafasnya. Ini benar-benar gila. Hani baru tau rasanya melayang ke langit ketujuh yang pernah diceritakan teman-teman segendrenya kalau sedang mabuk kepayang.Tapi cewek-cewek yang lebih cantik kan berserakan di 2 kampus ini, kenapa dia milih aku?

“Bisa kan?” tanya Andra ramah.

“Tapi kenapa?” Akhirnya pertanyaan itu berani Hani lontarkan.

Cowok itu tersenyum. “Pertama karena gue ga mungkin minta ke temen sekampus…”

Hani langsung cengo. Satu kata yang membuatnya tertohok. Minta?

“Kedua, gue yakin gue udah milih cewek yang mustahil gue bisa jatuh cinta sama dia…”

Setelah beberapa saat tercengang, Hani langsung tertawa hambar. Kayaknya ni cowok ga serius deh. Tapi berniat mempermainkan. “Ha-ha-ha… sangat menyanjung.” Hani melempar tatapan sinis pada Andra. Dia gendok 3 kilo! Dikirain tu cowok seriusan, eh nyatanya…… Tau gitu dari awal ga dia waro ni cowok.

Hani bermuka BT. “Maksud lo apa, hah?” tukasnya sebal.

“Saat ini gue butuh pacar boongan…” ucap Andra datar, seolah tak peduli kalau kalimatnya sungguh menyinggung Hani. Matanya menatap Hani lurus-lurus, “Nyokap pengen gue bawa seorang pacar besok…”

Hani mendengus pelan. Ini adalah hal yang paling ga masuk akal yang pernah ia dengar. “Trus napa mesti gue? Kita ga saling mengenal.” Hani benar-benar sakit hati mendengar kata ‘pacar boongan’ karena di kamusnya tidak ada kata pacar boongan. Kalo pacaran ya artinya seumur hidup, alias dibawa sampe kawin, ga ada deh istilah putus atau boongan gituan. Mamanya selalu mengajarkan demikian. Lebih baik menjadi cewek yang dianggap katro daripada mesti pacaran berkali-kali dan hanya merusak gaya hidup aja.

“Tadi kan gue udah nyebutin 2 alasan, belum cukup?”

Hani jengkeeeelll banget mendengarnya. Emang dia cewek apaan? Ga menarik gitu sampe dijadiin kandidat pacar boongan? Oh, makasih!! Benar-benar menyebalkan!! “Tapi sayang gue ga bersedia dengan kehormatan itu…” Sambil menahan emosi, Hani berbalik hendak pergi.

“Gue akan ngegaji lo untuk itu.” ucap Andra cepat-cepat.

Kata-kata Andra itu membuat Hani berhenti dan terdiam. Tawarannya makin menggiurkan karena tuh cowok bersedia ngegaji. Hani berbalik lagi, menatap Andra. Kalo soal duit, Hani emang lemah banget.

“Dan satu dollar yang kemarin gue anggap lunas…” lanjut Andra.

Hani maju beberapa langkah mendekati Andra. “Gue bisa bayar satu dollar itu sekarang.” bisiknya menantang. Sebel juga kalo dianggap miskin dan diungkit-ungkit utang.

Andra tersenyum. “Lo hanya jadi pacar boongan gue untuk sementara… ga akan lebih dari sebulan…”

“Ngga.”

Andra maju, mendekati Hani. Kini muka mereka hanya berjarak satu jengkal saja. Dia menatap Hani, membuat cewek itu agak bergidik. “Satu juta per bulan…”

Hani menahan nafas mendengarnya namun ia memantapkan diri. “Ngga!” Kalo dia nerima, dimanakah letak harga dirinya hah?

“Lo cuma mesti akting aja di depan keluarga gue.”

Hani langsung bersin di depan wajah Andraanggap saja ini pembalasan karena membuatnya pilek. Hani menarik nafas lalu berkata tegas, “Ngga! Ngga! Ngga! Gue bilang nggaa!!” Hani langsung berbalik cepat menampar dada cowok itu dengan tas punggungnya. Ck, dan ini pembalasan kedua. Rasakan.

Andra bengong. Ia melap mukanya yang sedikit basah. Menjijikkan. Pertama kalinya ia diperlakukan seorang wanita seperti ini.

Andra menatap kepergian Hani. Sekarang aku harus melakukan apa? Besok aku harus bawa seseorang ke rumah… Ck, tapi siapa?

Sial.

Hani berjalan cepat meninggalkan taman Malaikat. Masih ada rasa kesel tapi puas juga sudah bikin tu cowok gondok dan apes. Hehe. Yang jelas Hani ga terima sama sekali, masa dia dianggap cewek yang mustahil untuk Andra bisa jatuh cinta?!! Ini sih penghinaan. Yaaa...... memang Hani ga berharap ditembak beneran sama Andra. Tapi kaaaaannnnn..... yah sopan dikitlah, jangan semena-mena. Itu kan sama aja bilang kalo Hani tuh bukan tipe ceweknya!! Huh!!

Emang siapa dia? Beraninya menganggapku seperti itu. Dasar!

Hani malu sekali mengakui kalau ia sempat berbunga-bunga dan berdebar awalnya. Soalnya ini pengalaman pertama. Eh nyatanya!!

Ukh… tapi gajinya lumayan… Duh aku jadi pusing.

Andra duduk di kantin dengan wajah tak bersemangat. Sementara teman-temannya sedang ngebanyol, dia bengong sambil memainkan sedotan minumannya.

Hari ini adalah hari dimana ia harus membawa seorang pacar (bukan Nadira) malam ini pada sang ibu.

Hhh… sudah tak ada jalan keluar lain.

Tinggal satu sih alternative lain : Andra bisa membawa Damar dengan busana wanita ke hadapan mamanya dan berkata, “Ma, ini dia pacar yang pernah kuceritakan. Cantik kan?”

Konyol…

Atau, dia bisa membawa si cool Ridan malam ini ke rumah dan berkata dengan sangat menyesal pada mamanya bahwa ia adalah seorang gay.

Lebih menjijikkan.

Andra memegang kepalanya yang agak pusing memikirkan masalah ini terus menerus.

“Lo kenapa, Dra?” tanya Andi setelah puas tertawa dengan lelucon Damar.

Andra hanya menggeleng. Percuma aja kalau curhat ma mereka. Andra yakin betul kalau dia cerita teman-temannya pasti bakal ngakak dan menganggap itu adalah masalah sepele. Tapi tidak bagi Andra.

“Andra…”

Andra mendongak dan terkejut saat melihat Hani sudah ada di depannya. Teman-temannya juga heran dan mengingat Hani sebagai korban tas Andra beberapa hari yang lalu.

Hani tersenyum tipis, “Ada yang mau gue omongin…”

Andra mengangguk ragu dan bangkit berdiri, mengikuti Hani pergi dari kantin.

Damar dan Ridan saling lirik, bingung sementara Andi malah terkekeh-kekeh.

“Tumben dia punya urusan sama cewek selain Nadira..”

Hani dan Andra saling berhadapan di belakang kantin. Andra menatap cewek itu dengan bertanya-tanya, sebenernya apa coba yang mau diomongin cewek ini setelah bersin di depan mukanya kemarin?

“Gue…” gumam Hani sedikit deg-degan, “Gue bersedia jadi pacar boongan…”

Andra terbelalak. “Hah? Yang bener?”

Hani mengangguk pelan. Semalam dia sudah memikirkan semua ini masak-masak dan ia yakin mungkin tak apalah jadi pacar boongan, dia juga sangat membutuhkan uang saat ini. Dan selama masih menjaga diri, dia yakin takkan terjadi apa-apa.

Andra tersenyum girang. Tak ia sangka ia mendapatkan pacar boongan beberapa jam sebelum makan malam nanti. “Oke… Hari ini lo kuliah sampai jam berapa?” tanyanya ga mau basa basi lagi.

Hani tertegun sesaat, “Ng, sampai jam 5, memang kenapa?”

“Nanti gue jemput.” Andra buru-buru mengeluarkan handphone.

“Jemput?” Hani ga ngerti sama sekali.

“Nanti juga lo tau…” Andra memberikan handphonenya, “Nih. Ketik nomor lo disana biar bisa gue hubungi.”

Hani sih menurut saja walau ia masih penasaran kenapa Andra ingin menjemputnya nanti. Aneh…

Setelah Hani mengetikkan nomornya, Andra langsung menyimpan nomor itu dalam nama : One Dollar.

Jam lima kurang lima menit, Andra sudah bulak balik mengSMS Hani. SMS terakhir menyatakan kalau Andra sudah menunggu Hani di pakiran dekat gedung fakultas tempat Hani kuliah. Maka seusai dosen mengakhiri perkuliahan, Hani langsung ngacir keluar dari kelas (bahkan lebih dulu dibandingkan dosen yang bersangkutan) membuat Syifa dan Fanny terbengong-bengong heran dengan kecepatan Hani.

Hani berlari kecil mendekati Andra yang sedang berdiri dekat mobil Honda Jazz silver yang pernah nabrak kaki Hani dan menyiramnya dengan genangan air hujan ^^;; Hani sebetulnya punya dendam pribadi, bukan hanya pada si pemilik mobil melainkan pada mobilnya juga!!!

“Ada apa?” tanya Hani tanpa basa basi. Dia heran napa cowok ini kayak yang kebelet banget…

“Gue mau ajak lo ke rumah gue…” ucap Andra datar.

“Haaah?” Hani menganga impuls. Baru beberapa jam yang lalu jadi pacar boongan dia, tapi udah diajak main ke rumah?! Pacar boongan atau pacar beneran??

“Jangan GR dulu…” ucap Andra dingin membuat Hani naik pitam, “Sebenernya sejak beberapa hari yang lalu nyokap minta supaya pacar gue ke rumah buat dinner… dan itulah alasan gue minta lo jadi pacar boongan…”

Hani ingin sekali meneke cowok satu ini, cowok yang sangat dingin, sulit ditebak dan tidak ramah. Kata-katanya nyelekit, ga pernah bikin Hani tersenyum.

Andra melihat jam tangannya. “Mending kita langsung cabut aja, nyokap udah nunggu.”

“Iye!” tukas Hani sebal sambil berjalan menuju mobil. Uh… pekerjaan macam apa ini? Menyebalkan.

Selama di perjalanan baik Hani maupun Andra sama sekali tidak berbicara. Hani masih dongkol banget dengan perlakuan Andra yang cenderung ujug-ujug dan seenaknya. Sampai saat ini pun Hani masih menanti kalau-kalau Andra nyadar diri dan minta maaf karena pernah membuatnya sial beberapa kali! Tapi lantaran iming-iming gaji, Hani bersedia untuk sabar tuh.

Mobil itu pun berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gaya minimalis. Andra yang keluar duluan dari mobil.

Entah kenapa Hani merasa dadanya berdebar. Kenapa aku yang jadi deg-degan?? Aku kan cuma pacar boongan dia… Oke, Hani, rileks… Semua yang akan dia lakukan dan yang akan terjadi hanyalah akting, fiktif belaka…

Andra melirik Hani yang baru keluar dari mobil. Penampilan Hani memang jauh dari kata persiapan. Hani memakai T-Shirt biru langit bergambar Doraemon, celana jeans dan sepatu warior. Oh my… Tapi Andra justru senang akan hal itu… Siapa tau kan dari ‘penampilan’ Hani yang begini, Mamanya akan ilfeel. Nah dengan demikian Andra ga perlu repot-repot memperpanjang umur pacar boongannya, toh Mamanya udah ilfeel.

“Oh ya, sebelum gue lupa, nama lo siapa?” tanya Andra.

“Hani...” sahut Hani agak sebal. Namanya begitu gampang diingat tapi kenapa Andra bertanya sampai dua kali sih.

“Ayo masuk…” ucap Andra pelan.

Hani mengangguk dan mengikuti Andra menuju pintu. Belum Andra membuka pintu, pintu sudah dibuka duluan oleh orang dalam.

Seorang wanita tinggi, cantik, kulit sawo matang, membuka pintu. Matanya membesar saat melihat Andra, adiknya dan seorang wanita yang ia anggap pacar Andra. Belinda tersenyum tipis.

“Siapa, Bel?” tanya seseorang dari dalam. Andra tau itu suara mamanya. “Andra?”

“Iya, Ma…” seru Belinda. Cewek yang sedang memasuki kuliah tingkat akhir itu tersenyum angkuh dan kemudian melenggang masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Hani sama sekali. Terdengar samar-samar suara Belinda yang mengatakan, “Ck… ini kan mau dinner… kok bajunya gitu sih…”

“Ayo masuk…” gumam Andra rendah.

Hani hanya bisa mengelus dada, ternyata benar kan, adik dan kakak sama saja, sama-sama judes. Hani hanya berharap kalau ibu mereka tidak demikian.

Andra mengajak Hani langsung ke ruang makan. Gila juga, baru dateng langsung disuruh makan, bener-bener ga ada basa basi ni orang. Emang niat bikin mamanya puas aja.

“Andra…” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya keluar dari dapur dan menyambut mereka berdua. “Ini pacar kamu?”

“Iya, Ma…” sahutnya sambil duduk di salah satu kursi.

“Siapa namanya? Kenalin dong…” kata Mama sambil tersenyum sangat ramah pada Hani.

“Nama saya Hani, Tante…” ucap Hani juga balas ramah karena melihat tanda-tanda bahwa wanita itu lebih mempunyai aura positif ketimbang anaknya ^^;

“Honey-Sayang maksud kamu?”

“Ngga, Tante… Hani, H-A-N-I…”

Mama Andra tertawa. Beliau terlihat sangat gembira dan seolah menerima Hani dengan sangat terbuka. Belinda juga tak menyangka kalau mamanya tidak membahas pakaian Hani dan mencelanya padahal Mama yang paling cerewet kalau Belinda berpenampilan cuek. Eeh ini, pacar si Andra ga diapa-apain sama sekali karena penampilannya yang cuek dan saltum itu. Andra juga memandang ibunya dengan tidak percaya. Apa selama ini selera ibunya memang rendah??

Mereka pun mulai makan malam walau ayah Andra tidak ikut serta karena sedang berada di luar kota.

“Gimana, Han, enak ga masakan Tante?” tanya Mama Andra semangat betul.

Hani mengangguk. “Enak banget, Tante, udang saus tiramnya…”

“Ah yang bener?” Mama terlihat malu sementara Belinda dan Andra makan anteng.

“Iya, Tante… Hani ga boong.”

Mama tersenyum. “Ya ampun baru kali ini lho Tante dipuji kalau masakan Tante ini enak…” Mama melirik pada kedua anaknya dengan kecewa, “Anak-anak Tante saja ga pernah muji Tante segitunya…”

Andra dan Belinda hampir tersedak mendengar itu. Mereka langsung pura-pura biasa dan tersenyum saja.

“Coba sekali-kali Tante jangan masak deh…” gumam Hani sambil tersenyum jail, “Biar mereka rasain gimana ga enaknya kalau ga ada yang masakin… Nah, saat-saat kayak gitu pasti deh mereka muji Tante kalau masakan Tante enak banget…”

Hening beberapa saat sampai akhirnya Mama Andra tertawa. Andra dan Belinda melempar pandangan maut pada Hani yang malah cengengesan, merasa puas udah ngerjain orang.

“Oke juga…” ucap Mama masih setengah tertawa, “Lain kali bisa dicoba.”

“Mama aahhh…” rengek Belinda. Walau memang dia tidak pernah memuji masakan mamanya tapi kalau karena itu mamanya ga mau masak lagi, dia ga nerima.

Hani tersenyum. “Hani kan ngekos, Tante, jadi kalau dimasakin kayak gini Hani seneng banget, kayak di rumah sendiri… Hehehe.”

“Oh kamu ngekos?” tanya Mama.

“Iya. Hani orang Lembang sana, Tante…”

Mama mengangguk-angguk. Andra juga baru tau kalau Hani dari Lembang, weekend ini kan keluarga mereka akan ke villa nenek yang di Lembang.

Mama menatap Andra sambil berkata, “Andra, kamu harus sering-sering bawa pacar kamu ke sini ya… Dia kan ngekos jadi pasti kesepian… Kamu harus sering-sering bawa dia kesini untuk makan malam.”

Andra melongo tak percaya. Napa jadi gini sih? Harusnya Mamanya kan ilfeel sesuai dengan perkiraan dia, tapi ini kok…???? Dan dia disuruh sering-sering ngajak Hani ke sini? Oh no!!!

Hani hanya nyengir saja melihat air muka Andra yang syok itu. Hani tertawa dalam hati. “Tante, Hani tambah lagi nasinya ya…”

“Iya tambah aja…” ucap Mama makin senang karena masakannya laku keras.

Hani sih cuek aja dia makan dengan porsi yang cukup besar. Bayangin aja dia tambah ampe 2 piring!! Belum terhitung jumlah ikan, ayam, daging panggang yang ia habiskan. Belinda sampai nelen ludah ngeliatnya. Dia jadi inget kalo di undangan kawin dia kadang melihat ada orang yang makannya juga kayak gitu, serasa rugi kalau makannya dikit.

Andra berharap lewat hal ini mamanya ilfeel lantaran Hani yang doyan makan dan ga jaga image itu. Ck ck… Tapi toh ternyata tidak. Mamanya malah senang dan tertawa saja melihat Hani yang semangat makan itu.

Setelah makan Hani diajak mengobrol di ruang keluarga. Ya ampun… Andra ingin semua ini berakhir dengan cepat. Dinner aja kan?? Ga usah pake embel-embel ngobrol segala… karena pastinya ngaler ngidul.

“Hani, Sabtu ini ada acara keluarga di villa nenek Andra, kamu ikut ya…” ucap Mama.

“Hah? Kalo acara keluarga kayaknya Hani ga perlu ikut deh, Tante…” sahut Hani merasa tak enak.

“Lho ga apa-apa. Nenek Andra memang meninta supaya cucu-cucunya datang bersama dengan pacar. Jadi Tante harap kamu bisa ikut ke Lembang…”

Hani tersenyum hambar. Dia melirik Andra yang anteng nonton TV, ga mau terlibat sama sekali. Hani memelototi Andra… Napa dia ga bilang!!!!

“Tapi tetep aja Hani merasa ga enak… Hani kan baru jadian sama Andra…” sahut Hani masih berusaha untuk tidak ikut.

Andra melirik Hani, baginya statement barusan ampuh juga. Ternyata lihai juga dia dalam mencari alasan…

Belinda pun ikut-ikutan nguping walau pura-pura ga peduli karena sedang menghirup kopi mokanya.

“Ga apa-apa kok kalau baru jadian…” ujar Mama, “Tante sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga ini juga…”

Andra terbatuk-batuk mendengarnya, Belinda bahkan sampai memuntahkan kopi saking kagetnya. Hani hanya tertawa hambar melihat respon kakak beradik itu. Dia juga terbelalak horor sedetik setelah mendengar statement ga wajar itu.

“Belinda, kamu kalau minum pelan-pelan dong…” tukas Mama karena Belinda sukses mengotori karpet.

Andra dan Hani saling pandang. Hani nyengir gugup. Gila ya keluarga ini… Belum apa-apa masa udah diajak ke keluarga besar. Ga liat apa aku ga masuk kriteria ‘cewek’??

Jam setengah 9 malam akhirnya Hani diijinkan pulang. Andra disuruh mamanya untuk mengantar Hani pulang, padahal tadi Andra sudah berniat nyuruh Hani pulang sendiri.

“Nyokap lo aneh ya…” ucap Hani saat mereka di teras hendak menuju mobil.

“Aneh apanya?”

“Ya aneh aja… Masa gue dibiarin gitu aja pacaran sama anaknya. Apa dia ga merasa rugi?”

Andra mengangkat bahu. “Ga tau. Perasaan selera nyokap gue ga rendah deh…” Andra agak menyayangkan dengan sikap ibunya yang lebih ramah pada Hani dibandingkan pada Nadira. Nadira memang belum pernah ke rumah ataupun bertemu langsung dengan Mama, tapi kenapa Mama terang-terangan tidak menyukai Nadira hanya karena ia anak dari musuh lamanya saat SMU? Dendam oh dendam… kapankah ada perdamaian.

Hani hanya tersenyum namun beberapa detik kemudian ia sadar dengan makna kata-kata Andra barusan. “Heh, maksud lo apa!”

Cowok itu malah nyengir lalu masuk ke dalam mobil.

Hani memandang Andra dengan sebal. Huh, awas tu orang ya…

Selama di perjalanan, Andra yang Hani sangka sebagai tipe cowok cool dan pelit ngomong, terus-terusan berbicara. Andra mengatakan hal-hal yang boleh dan tidak boleh Hani lakukan saat di villa nanti dan hal-hal yang harus dibawa Hani.

“Lo harus bersikap layaknya putri kalo di depan nenek… Kayaknya sih Nenek suka sama cewek yang feminine.. Soalnya semua sepupu cewek gue girly ... ga ada yang….” Ucapan Andra tertahan dan ia hanya mengerling pada Hani.

“Ga ada yang apa?” tukas Hani tau kata-kata yang disensor Andra barusan.

Andra angkat bahu. “Nanti di sana lo bakal ketemu sama sepupu-sepupu gue.. Ada Vino, Marco, Reyhan dan yang lainnya… Tiga nama yang barusan gue sebutin emang sedikit tengil dan jail… Kayaknya mereka juga bakal bawa pacar mereka…”

Hani malah gosok-gosok hidung, terlihat mengacuhkan semua yang Andra katakan. Tapi sepertinya Andra tidak sadar, dia malah terus berbicara.

“Karena kita bakalan nginep sampai Minggu malam jadi lo harus bawa perlengkapan menginap lo… Besok gue akan jemput lo jam tujuh tepat di depan kosan.”

Hani mendengus pelan. “Napa pagi amat sih?”

“Kita harus sampai villa besok siang, apalagi biasanya Lembang suka macet kalo hari Sabtu.”

“Ya ya ya…”

“Inget ya, besok jam tujuh!”

Tidak ada komentar:

Selasa, 05 April 2011

One Dollar, novelku yg seruuuuu ^^


Let start One Dollar >.<


Satu

Pagi yang indah... Hani berjalan meninggalkan kosannya dengan senyum lebar. Dia memang selalu bersemangat. Kuliah itu mahal tauk, itulah yang slalu ia ingatkan pada dirinya sendiri. Bayangin aja pengorbanannya kalo harus kuliah selama 4 tahun. Kalo dia milih kerja 4 tahun, gajinya pasti udah ada lebih 40 juta. Nah makanya dia slalu berpikir kuliah itu benar-benar merugikan bukan membanggakan dibandingkan orang yang lulus SLTA tapi langsung kerja. Masalahnya kalo kuliah tuh kan mesti keluar kocek... Huh, Hani mendengus dalam hati. Tapi sekarang kebanyakan orang gengsi banget kalo ga kuliah dibandingin dengan ga kerja. Makanya Hani tak akan menyia-nyiakan uang keluarganya yang sudah susah payah membiayainya untuk kuliah.

Sekarang dia sudah hampir sampai di gerbang kampusnya. Sesaat sebelum sampai ke pintu gerbang kampusnya, Hani melirik kampus lain sebelah kampusnya. Kampus swasta yang lebih besar, lebih borjuis dan katanya dari kaum papan atas. Itu lho, anak-anak yang seneng foya-foya tapi otaknya kosong (ini sih julukan yang diberikan temen-temen Hani). Kata lainnya sih kampus Hani yang biasa itu sebenarnya bisa dibilang numpang di kampus orang. Yah kayak kampus pinggiran gitu. (teganya) Walaupun memiliki latar belakang sosial yang cukup jauh, tapi tidak pernah terjadi bentrok di antara mahasiswanya, pernah sih sekali tapi itu dulu banget. Itu juga terjadi lantaran salah paham doang, hanya karena beda pake merk sampo aja. Jadi waktu dulu ada 2 cewek dari 2 kampus yang berbeda yang ngotot kalo merk sampo yang dia pakelah yang paling tokcer. Tapi yang lain malah bilang kalo sampo itu sampo abal-abal, cuma iklan doang. Akhirnya suasana makin memanas. Cewek yang kuliah di kampus swasta terkenal langsung bawa antek-anteknya. Makin ricuhlah semuanya itu tapi untung bisa teredam karena lagi masa ujian. Hani sih ga begitu percaya dengan dongeng picisan begituan. Dia sih menganggap, nama kampus atau status sosial ga penting. Kan gimana orang yang ngejalaninnya. Sukses diukur bukan dari status sosialnya kan? Tapi dari usaha. Hani ga pernah bosan kalo ceramah beginian.

Biasanya kalau siang hari, mahasiswa 2 kampus akan saling berbaur di taman atau di kantin yang cukup luas itu. Sering kali ada ajang silahturahmi dan pertukaran mahasiswa. Maksudnya ajang keceng mengeceng. Incar mengincar. Walau terkadang cewek dan cowok kampus dimana Hani kuliah langsung ciut duluan lantaran strata dan tingkat saingan yang ketat. Tapi syukurlah aura intimidasi itu tidak mempengaruhi Hani dan teman-temannya. Dia sih ga peduli dengan semua itu. Baginya minder sama saja dengan mengasihani diri sendiri.

Hani berjalan masuk ke dalam wilayah kampusnya sambil bersiul. Jus alpukat di tangan kiri sedangkan roti kukus di tangan kanannya. Memang beginilah penampilan Hani, anak kosan yang merantau di Jakarta. Dia sih sebenernya asli orang Lembang sana. Anak kedua dari dua bersaudara. Walau dia bungsu tapi punya tingkat kemandirian yang luar biasa. Dia tahan ga pulang ke rumahnya selama 2 bulan, padahal Jakarta-Lembang ga begitu jauh.

Hani sehari-hari ke kampus selalu dengan stelannya yang khas : T-shirt, rompi hitam/abu, celana jeans dan tas ranselnya yang mungil (dipertanyakan apakah ia bawa buku paket atau hanya sekedar membawa binder seadanya)

Hani langsung mengambil tempat paling PW yang bisa ia temukan di kantin. Ia duduk sambil membuka koran yang tadi ia beli. Hanya satu incerannya. Lowongan kerja. Dengan gesit ia membalik-balik halaman untuk mencari kolom lowongan pekerjaan.

Hmm... kita lihat apa yang ada di sini...

Sementara itu di tempat lain, Andra berjalan gontai menuju mobil Honda Jazz-nya yang berwarna silver. Wajahnya yang cenderung datar (kurang ekspresi) namun tetap menunjukkan garis-garis ketampanannya, badan yang tinggi serta kharismanya yang menonjol meski ia tidak dengan terang-terangan menunjukkannya… Sebenernya sejak SMP dia jarang sekali bersosialisasi. Tapi memang saat SMP dia sangat dekat dengan para sepupunya yang gokil dan jahil kelas kakap. Dia pernah ikut menjahili sepupunya sendiri yang lebih tua yang satu sekolah dengannya. Itu memang yang paling parah. Sejak itu Andra kapok dan memilih untuk engga berkecimpung di dunia begituan lagi. Walau dia masih sangat akrab dengan para sepupunya.

Andra masuk ke dalam mobilnya, menyetel musik favoritnya, “Cayman Island” dari KOC.

“Through the alleyways

To cool off in the shadows

Then into the street

Following the water

There's a bearded man

Paddling in his canoe

Looks as if he has

Come all the way from the Cayman Islands…”

Sambil memainkan stir meninggalkan rumah, Andra sedikit terbengong. Beberapa waktu kemarin Nadira, pacarnya, sudah merengek-rengek untuk dibawa ke rumah. Tapi Andra tau kalau mamanya tak akan mungkin menyukai Nadira. Kenapa? Andra malas menjawabnya. Karena itu adalah jawaban paling ga masuk akal yang pernah ia dengar. Tapi tetap saja Andra tak mungkin membawa Nadira ke rumah. Bisa-bisa cewek itu diusir.

Andra menghela nafas.

Problem ya…

Terbersit pikiran sesat di benak Andra. Apa restu orangtua begitu penting?

Dia sudah pacaran dengan Nadira, teman kampusnya sejak setahun yang lalu. Ia dan Nadira memang sudah kenal dekat sejak SMA. Awalnya engga sih, Andra kan tipikal pendiem dan sulit bersosialisasi. Tapi lantaran pelajaran seni musik dan mereka sekelompok, mau ga mau Andra dan Nadira jadi akrab juga. Saat akhir SMA, tepatnya saat perpisahan, Andra meminta Nadira untuk menjadi ‘lebih dari temen’ Dan sekarang… mereka sudah kuliah tingkat 2, wajar kan kalau Nadira minta dikenalkan pada orangtuanya?? Tapi… ck… ini mungkin bukan masalah sepele.

Andra mendengus dan memilih untuk melupakan masalah itu sejenak. Pagi-pagi begini masa langsung stres.

Lowongan kerja… lowongan kerja… Harus dapat… Hani membuka-buka koran sampai akhirnya matanya menemukan kolom lowongan pekerjaan yang banyak sekali. Mata jernih cewek ini bersinar. Rambut lurusnya yang sepunggung ia kibas. Tangannya menjelajahi tiap kolom, mencari pekerjaan sambilan yang tepat.

“Aha!” Hani tersenyum lebar saat ia menemukan sebuah kolom kecil berisi lowongan pekerjaan di mini market, dan yang paling membuatnya gembira karena ternyata mini market itu tidak terlalu jauh dari kampus dan kosannya.

Cepat-cepat Hani mengeluarkan handphonenya dan menulis ulang keterangan lowongan pekerjaan itu. Dia bahkan sempat-sempatnya melingkari kolom itu dengan spidol merah, biar lebih pol lagi.

“Hoi! Lagi ngapain?” tanya seseorang tiba-tiba duduk di hadapan Hani membuat Hani sedikit terkejut. Fanny, salah satu teman dekatnya di kampus mengernyit pada Hani. Cewek yang berambut ikal sebahu dan yang memakai kaca mata ini memandang Hani dengan rasa ingin tau.

Hani enggan menjawab.

“Pasti deh lagi nyari kerja sampingan lagi kan?” Fanny melihat koran di hadapannya. “Ga kapok? Bukannya terakhir lo kena tipu? Dibilangnya jadi pelayan karoke eh nyatanya playan diskotik…”

Hani menghela nafas. Memang pekerjaan terakhirnya itu sanggup membuatnya trauma. Pekerjaan itu hanya bertahan selama 2 hari karena Hani yang merengek minta dikeluarkan saja daripada harus pulang pagi, dan menjadi pelayan diskotik? Horrible!

“Tenang aja. Kali ini gue bakal jadi pelayan mini market… deket kampus lagi…”

Fanny menatap sobatnya itu. “SPG maksud lo?” Fanny sih memang anak kosan juga, jadi ngalamin yang namanya dompet kering kalo akhir bulan. Tapi kalo sampe kerja sambilan, baginya itu lebay. “Han, napa sih lo giat banget pengen kerja sambilan?”

Hani tersenyum tipis. Dia memang tak pernah menceritakan masalah keluarganya pada siapapun. Dia memang termasuk tipe tertutup walau memang sangat ceria. Angel, keponakan Hani yang berumur 8 tahun punya penyakit leukemia dan berhubung keluarganya tidak mampu maka akan sulit untuk mengobati gadis kecil itu. Hani tau kalau gaji kerja sambilannya tak seberapa untuk pengobatan keponakannya. Tapi Hani ingin berusaha walau mungkin uang yang bisa ia hasilkan sangatlah sedikit.

“Mana Syifa?” tanya Hani mengalihkan pembicaraan.

“Belum datang.”

Hani membereskan korannya. “Ke kelas yuk…” ucap Hani seraya bangkit berdiri dan berjalan duluan meninggalkan Fanny.

Fanny menghela nafas dan mengikuti Hani menuju kelas.

Hani duduk di kantin, menyeruput lemon teanya sambil menonton dua sahabatnya yang ‘kebetulan’ ditemani dengan pacar mereka. Yang pertama Adrian, anak kampus lain. Hani melirik cowok berambut cepak itu, yang dari tadi sibuk ngobrol dengan Fanny. Hani menilai kalau cowok ini over protektif. Hmm… dan sedikit lebay (kalo soal jealous). Masa waktu itu saja dia cemburu sama Riko yang bahkan sudah dianggap cewek oleh semua cewek seantero kampus lantaran orangnya yang asyik banget dan punya hobi… pedicure??

Yang kedua, Reza. Hani memilih untuk memandang meja saja daripada memandang cowok itu. Ehm, mata cowok itu emang agak sedikit juling makanya Hani agak takut en ngeri. Tapi over all dia baik dan murah hati kalo soal traktiran, hehe. Reza sudah bekerja di sebuah instansi gitu. Syifa dan Reza sedang asyik senyam senyum olangan seolah tak menyadari kalau Hani sudah ingin teriak di depan mereka dan bilang “Hellow, anybody in here??”

Hhh… sudahlah, Hani… Namanya juga orang yang lagi pacaran… Dasar! Lupa kan ma gue…

Hani memutuskan untuk bangkit berdiri setelah menghabiskan minumannya. Dan sialnya, dua sobatnya itu ga nyadar sama sekali.

Hani berjalan gontai meninggalkan kantin besar 2 kampus itu. Gak tau sih mau kemana, tapi kayaknya bagus kalau jalan-jalan sendiri.

Andra dan teman-temannya sedang nongkrong depan mading. Teman-teman Andra emang rata-rata gokil, heboh, sok ganteng, TP, pokoknya tipe-tipe cowok pecicilan, walau Andra terlihat tidak mirip sama sekali dengan sifat-sifat itu.

“Menurut lo kampus sebelah gimana?” tanya Damar pada teman-temannya.

“Gimana apa maksud lo? Lo buta ya? Kampus kita tuh lebih hebat daripada kampus sebelah!” ucap Andi setelah bersiul pada seorang gadis yang baru saja lewat.

“Maksud gue cewek-ceweknyalah!” tukas Damar risih.

“Oohh..!” Ridan nyengir halus. “Napa? Ada yang lo taksir?”

“Ngga juga… tapi kayaknya manis-manis…”

Andra hanya tersenyum saja. Ia memilih untuk melihat mading dan berita yang ada di dalamnya.

Ridan menunjuk Andra dengan sebelah matanya. Damar dan Andi nyengir.

“Oya, ngomong-ngomong si Nadira ke mana?” tanya Andi keras-keras, sengaja memang.

“Iya ya..” ucap Damar tak kalah kerasnya sampai Andra menoleh, “Tadi dia ga kuliah ya?”

“Dia ada urusan…” jawab Andra datar dengan mata masih lurus memandang mading.

“Urusan apa? Ga lo anter?” goda Ridan.

“Ada urusan keluarga katanya.”

Andi tiba-tiba geleng-geleng dengan tatapan takjub. “Gue salut sama lo, Sob. Kalian tuh akur terus ya, en kayaknya baik-baik aja… Jodoh kali ya kalian… Ck ck ck… Kapan gue dapet jodoh… Cinta emang mudah datang dan pergi tapi jodoh cuma satu.”

“Iye…” ucap Ridan, “Nadira juga cantik banget, modis… Banyak lho yang naksir dia…”

Andra hanya tersenyum sekenanya saja. Dia memandang mading dengan pikiran yang menerawang. Tadi Nadira SMS kalau alasannya tidak bisa kuliah ialah karena ada urusan keluarga yang mendadak, semacam kumpul keluarga besar gitu… tapi tidak tau membicarakan apa.

Tak jauh dari sana, Hani berjalan sambil melamun. Kadang menatap jalan, kadang juga menatap langit, persis video klip lagu mellow dan putus cinta. Sebenernya yang sedang dipikirkan Hani ialah keponakannya yang sakit. Hani sangat sayaaang sekali pada Angel. Bukan hanya karena Angel adalah seorang gadis yang sangat manis, tapi Angel cukup dewasa. Dia tidak menangis saat divonis mengidap leukemia. Angel sangat ramah, baik seperti malaikat. Pokoknya Hani benar-benar tak rela kalau Angel sampai meninggal. Kematian ayahnya saja sudah membuat Hani sempat putus asa tapi untungnya Mama selalu mengatakan kalau itulah yang terbaik. Tapi untuk yang satu ini…?

Hani juga sempat memilih untuk tidak kuliah di Jakarta saja mengingat Mama juga yang sakit struk. Uhh… kenapa banyak yang sakit? Hani jadi merasa sudah menjadi beban karena kuliah di Jakarta, yang tentunya ngekos karena tak ada saudaranya yang tinggal di Jakarta. Itulah sebabnya Hani begitu semangat untuk mencari pekerjaan sampingan. Dia sama sekali tidak memberitahu keluarganya kalau dia punya kerja sampingan karna pasti akan dimarahi dan disuruh mengundurkan diri. Hani tidak bisa diam saja dengan kondisi keluarganya yang seperti ini.

Hani menatap langit, tersungging senyum hambar. Aku mana mungkin sibuk memikirkan pacar… kalau Fanny dan Syifa sih mungkin. Tapi aku?

Tuhan… tolonglah keluargaku… Aku mau semuanya sehat-sehat saja.

Karena melamun, Hani tidak sadar kalau ia sedang berjalan menuju 4 orang cowok yang sedang sibuk ketawa-ketiwi (meskipun Andra hanya tertawa kecil saja dengan mata masih menatap mading).

Tiba-tiba ponsel Andra bergetar sekali, pesan masuk dari Nadira yang isinya minta untuk dijemput.

“Kayaknya gue harus pergi sekarang… Nadira minta dijemput…” Belum Andra selesai dengan kalimatnya dan Damar bersuit-suitan, tas punggung Andra menampar muka Hani yang kebetulan berjalan sambil melamun. Hal ini terjadi lantaran Andra yang berbalik badan dengan tiba-tiba di saat Hani akan lewat.

Hani yang sedetik sebelumnya masih melamun mellow, darahnya langsung mendidih saat wajahnya terkena tamparan keras dan kasar tas hitam seseorang. Sakit dan menjengkelkan. Hani kan lagi bengong eh tiba-tiba pipinya kena timpuk gitu, mana enak kan?

Hani mendongak. Ia melihat sosok pria tampan di hadapannya. Satu kata yang terlintas di benak Hani saat melihat cowok itu adalah : ‘pangeran’. Tapi kena timpuk tetep aja sakit sekalipun yang melakukannya adalah cowok ganteng. Hani mengelus-elus dahinya yang tergores. “Sakit tauk.

Andra balas menatap. Datar. Seolah tak ada kepentingan.

Melihat cowok yang tidak merasa bersalah, Hani jadi naik pitam. “Bukannya minta maaf lagi!” tukas Hani terang-terangan ngambek dan ga nerima. Ini sih ga ada lagi ‘sorry-sorry’-an.

Andra tersenyum tipis, menganggap cewek satu di hadapannya ini berani juga nantangin cowok yang ga dikenal. Andra menyentil dahi Hani seolah Hani itu seorang anak kecil yang nyebrang sembarangan. Dengan tatapan setengah menertawakan, dia berkata, “Lo… yang jalan ga liat-liat.”

Apa? Hani melotot. Kurang asem banget ni cowok. “Heh, lo kali yang buta.” Cewek ini malah maju selangkah makin songong saja.

Damar dan yang lainnya malah asyik menonton, menganggap keributan kecil ini sebagai hiburan gratis. Jarang-jarang lho Andra bersikap kayak gini. Karena itulah tontonan ini makin menarik apalagi cewek itu juga keliatannya ikut ngajak berantem.

Andra terlihat tak peduli dan malah berbalik pergi dari situ setelah say bye pada teman-temannya.

Hani habis kesabaran, mana mau dia kalah sama cowok ketus itu. “Hei, jangan kabur, Cowok Sok Keren!” seru Hani tak terima diperlakukan semena-mena. Kata ‘Cowok Sok Keren’ mengalir begitu saja dari mulutnya, udah ga peduli kalo nyatanya cowok itu emang keren.

Hani masih mengelus-elus dahinya yang kena timpuk juga yang kena sentil. Dan sepertinya Andra tidak peduli, buktinya dia malah masuk ke dalam sebuah mobil silver tak jauh dari sana.

“Sialan...” desis Hani masih kesal. Sadar karena sedang ditatap oleh 3 cowok teman si Sok Keren, Hani langsung berjalan meninggalkan tempat itu, tidak menghiraukan kikikan mereka juga salah seorang dari mereka yang ngajak gabung.

Cih, dasar cowok sok keren.

Andra menoleh ke cewek sebelahnya. Nadira terlihat diam terus dalam mobil sementara Andra sedang menyetir menuju kampus. Tadi memang Andra menyangka kalau Nadira akan menangis saat dijemput di rumah saudaranya. Entahlah, muka Nadira agak lain, seperti ada masalah.

“Kamu kenapa?”

Nadira tertunduk. “Andra, aku sedih banget…”

“Sedih kenapa?”

“Kamu inget kan kalo aku pernah cerita, nenekku yang lagi sakit di Bali? Dan kabarnya, umur nenek ga akan lama lagi…”

Andra menoleh kaget. Dia bisa melihat air muka kesedihan Nadira. Dia memang ingat Nadira pernah menceritakan neneknya yang sakit keras karena umurnya yang sudah tujuh puluhan, sakit jantung ditambah darah tinggi. Nadira juga pernah cerita kalau neneknya itu tidak boleh mendengar kabar yang mengejutkan atau menyakitkan karena takutnya akan mempengaruhi kesehatannya.

“Dan… lusa semua keluargaku harus ke Bali… menemani nenek untuk yang terakhir kalinya…”

Andra hanya diam. Ia fokus menyetir saja, walau sebenernya ia berpikir juga, agak lebay memang kalau sampai semua keluarga harus di sana menemani.

“Dra…” ucap Nadira setengah merengek, “Lusa aku akan ninggalin Jakarta…”

“Berapa lama?” tanya Andra.

“Sebulan… Mungkin juga lebih…” Nadira menatap pacarnya itu, pengennya ia melihat raut ketidakrelaan pada wajah Andra yang emang miskin ekspresi itu. Atau yah setidaknya Andra mengatakan sesuatu bahwa ia tidak rela kalau harus berpisah dengan Nadira. Cewek ini tidak naif, dia masih mengharapkan dimanja atau dikhawatirkan oleh sang pacar.

Andra hanya menghela nafas. “Kalau urusan keluarga sih, dekan pasti mau ngerti kalo kamu mau cuti sebulan lebih.”

Nadira mencelos, agak kecewa mendengar kata-kata Andra yang sama sekali sarat khawatir itu. “Dra, bukan itu masalahnya… Aku… aku…” Nadira menahan nafas, “Kita, Dra.....”

Andra langsung menoleh. Baru ngerti sekarang arah pembicaraan Nadira, pasti mengenai waktu bersama yang jadi berkurang lantaran Nadira mesti ke Bali. Rasanya aneh, kok Andra sama sekali tidak merasakan hal yang sama? Apa sifatnya memang slalu seperti ini? Cuek, dinginbahkan pada pacar sendiri. Tapi rasanya terlalu tega kalau ia diamkan hal ini begitu saja.

“Oke…” ucapnya tenang, “Lusa kan kamu berangkat ke Bali… besok kita akan menghabiskan waktu bersama. Terserah kamu mau minta apa, pasti kukasih.”

Senyum Nadira langsung mengembang, senang tiada taranya. Baginya ini adalah hal yang paling romantis. Dia dan Andra memang sudah kenal sejak SMA tapi baru kali pertama inilah Andra mengatakan itu. Oleh kawan-kawannya saat SMA, Nadira sering disebut sebagai penghangat hati Andra yang dingin. Bagaimana tidak? Hanya Nadira, wanita yang sanggup berteman dekat dengan Andra. Yang lainnya tak bisa. Dan memang, Nadira menjadi salah satu pensukses Andra bisa lebih bersosialisasi seperti sekarang.

“Han! Hani……!” Syifa menyenggol-nyenggol lengan Hani. Syifa makin menyenggolnya dengan keras karena nyatanya Hani beneran tidur lelap.

Dengan mata setengah terbuka, Hani menggerutu, “Apa sih!”

“Mata kuliahnya udah selesai, lo masih aja tidur. Bangun woi.”

Hani menguap lebar-lebar dan memandang ke sekeliling. Iya, benar, kelas sudah sepi. Jam berapa sekarang ya?

Fanny menatap temannya yang satu ini dengan cemas. “Lo begadang ya semalem? Mata lo ampe item gitu… “

“Yah gitu deh…” ucap Hani lemes sambil membereskan buku-bukunya. Semalam ia pulang ke kosan jam 5 pagi karena kebagian shift malam jaga mini market yang emang buka 24 jam nonstop.

“Lo begadang apaan?” tanya Syifa to the point, karena baginya Hani bukan tipe orang yang rela begadang hanya untuk membaca buku padahal besoknya ga ada ujian atau tugas.

“Biasa, Nona-nona… Gue kerja…”

“Lo kerja apaan ampe mata lo kusem begitu?” semprot Syifa. Dia melotot ngeliatin mata Hani.

“Masih jaga mini market kok… Tapi minggu ini gue kebagian shift malam.”

“Gila lo ya, masa lo terima aja? Lo kan mesti kuliah paginya, ga mikir lo?” tukas Fanny.

“Arghhh…” Hani menghempaskan tangan dengan masih mengantuk. “Tenang aja… gue bisa bagi waktu.”

Fanny mendengus. “Bagi waktu apanya? Buktinya tadi aja lo malah tidur sepanjang perkuliahan. Lo niat kuliah ga sih? Bisa E nilai lo.”

“Duluan ya, gue mo langsung ke kosan. Mau bobo.” tukas Hani memilih untuk pergi saja dari tempat itu daripada terus-terusan kena ceramah. Dia bukannya ga peduli dengan nilai kuliahnya, tentu saja dia peduli, wong dia pengen cepet lulus dari kampus ini biar bisa langsung cepat-cepat kerja dan membantu perekonomian keluarga. Tapi… dia juga tidak bisa mengabaikan masalah keluarganya saat ini. Dia merasa dia wajib membantu keluarganya. Pekerjaan sambilannya saat ini adalah hal yang paling tepat.

Hani berjalan sedikit sesempoyongan saat keluar dari gerbang utama kampusnya. Hoahm, dia mengantuk sekali. Tak sabar ingin cepat-cepat langsung rebahan di tempat tidur. Nanti dia kerja jam 7 malam. Lumayan, masih ada waktu beberapa jam untuk tidur dulu.

Hani berjalan dengan tidak konsentrasi karena mengantuk, goyang kanan-goyang kiri. Bakatnya yang satu ini memang tidak pernah berubah : masih saja sempat-sempatnya mencuri-curi tidur selagi berjalan. Dasar orang aneh.

Karena keenakan jalan setengah sadar itu, Hani tidak melihat kalau di depannya ada mobil silver yang sedang berusaha mundur untuk parkir. Dan lantaran si pengendara mobil itu juga gak sadar, dia mundurkan mobilnya begitu saja tanpa melihat kalau ada orang yang sedang berjalan di sana.

Kebutaan dua orang ini tentu saja berakibat fatal. Kaki Hani terdorong oleh mobil itu ke belakang. Hani jatuh di aspal. Kecelakaan kecil ini sanggup membuatnya melek 100%. Dia bangkit berdiri dengan lutut yang sakitnya minta ampun. Sedari kecil dia belum pernah dapat celaka begini, makanya dia pingin marah-marah sekaligus menyalahkan orang yang telah membuatnya seperti ini. Dia ingin sekali mengumpat-ngumpat supir tak tau diri dari mobil Honda Jazz silver di hadapannya.

Deg! Melihat ada mobil Honda Jazz silver, Hani merasakan firasat buruk. Jazz silver? Mobil ini kan.........

Ekspresi Hani langsung pahit seolah baru saja menelan empedu karena teryata supir itu ialah… tak lain…

Dia lagi, si Cowok Sok Keren…

Si cowok keren yang dimaksud Hani keluar dari mobil. Wajah setengah terkejut setengah jengkel. Kedua alis Andra yang tebal itu langsung mengerut dan menyatu saat menatap Hani. Rasanya aneh karena ia harus berurusan dengan cewek yang kemarin yang ia duga pasti cewek ini akan lebih bawel dari kemaren.

“Lo lagi…” tukas Hani sebal. “Ini yang kedua kalinya lo bikin gue sial.”

Muka Andra sama sekali tidak berubah. Datar. Seolah kepentingan Hani tidak ia hiraukan sama sekali.

Hani menahan lututnya yang nyut-nyutan. Kali ini jengkelnya tak bisa ia sembunyikan lagi. Udah dia yang jadi korban, eh si tersangka malah diem, ga minta maaf atau apa. Kurang asem banget ni orang, ga punya etika apa. Hani menaikkan dagunya beberapa senti. “Heh, napa sih lo slalu melakukan sesuatu dengan sembarangan? Kemaren lo tampar muka gue sama tas lo itu, sekarang lo tabrak kaki gue sama mobil lo… Bisa bener ga sih jadi orang?”

Andra tersenyum angkuh mendengar kalimat terakhir cewek di hadapannya yang ia rasa sangat aneh. “Bukannya lo yang jalan ga bener? Ga liat ini tempat parkir? Dan…” Andra tersenyum tipis, “Pasti deh lo lagi ngelamun kayak kemaren…”

Hani menahan nafas. Darahnya mendidih. “Ha ha ha...” Hani mengucapkan tawa hambarnya dengan kata-kata, “Baru kali ini gue liat ada orang baik kayak lo.” Hani meringis dan bergumam sendiri, “Apa ini balasan karena gue tidur sepanjang perkuliahan? Tapi kenapa harus dia?!” Dalam hati dia berkata kalau kayak gini jadinya (kena hukum karma) mending dia paksa ngedengerin dosen ceramah deh.

“Baru kali ini juga gue liat orang yang jalan tapi ga pake mata.”

Hani makin berang. Tapi percuma saja kalau harus meladeni adu mulut ini karena pastinya ampe malem! “Makasih Cowok Sok Keren!” tukasnya lalu pergi dengan muka BT abis, mana lututnya nyeri banget sampai membuat jalannya terseok-seok. Apes gue…

Andra memperhatikan cewek yang baginya sangat aneh itu. Sampai detik itu juga Andra sama sekali tidak merasa bersalah walau sebenernya ingin mengakui juga kalau kejadian yang kemarin 100% kesalahannya, yah sekalipun cewek itu juga yang melamun.

Hani membanting tasnya ke lantai dan langsung menjatuhkan diri di ranjang sampai ia mengaduh keras karena baru sadar lututnya yang masih sensitive dan tidak bisa digubris.

“Arghhh!! Nyebelin!!” raung Hani. Belagu banget tuh cowok sok keren. Mentang-mentang cakep gitu en tajir jadi dia bisa ngebuat gue apes kayak gini?! Sebeeeelll… Napa sih tuh orang ga bisa bersikap baik sedikit aja?

Liat aja... Lo pasti bakalan kena karma! Pacaran sama cewek sinting. Huh!

Hani mengaduh karena lututnya sakit sekali. Entah karena sedang mellow atau apa, dia merasa kalau lututnya ini harus diperiksa ke rumah sakit. Tapi dia mana punya uang kan? Kalau saja cowok itu bisa perhatian dan membawanya ke rumah sakit karena siapa tau kan kalau kaki Hani ini ada kenapa-napanya setelah ditabrak? Atau mungkin sebulan kemudian kakinya langsung membusuk dan harus diamputasi. Hiiiii.......

Hani mendengus, membuang pikiran buruknya jauh-jauh. Pokoknya yang ia inginkan saat ini hanyalah tidur sampai tiba waktu jam kerjanya nanti malam.

“Gimana udah diberesin semua barang-barang kamu buat besok?” tanya Andra pada Nadira. Saat ini mereka berdua sedang makan di sebuah restoran malam itu.

Nadira mengangguk. “Udah…” Dia menerawang, hatinya mulai mellow apalagi di ruangan ini mengalun lagu mellow, “Besok aku akan pergi, Dra… Duuhh… aku pengennya ga pergi tapi kan…”

“Keluarga kamu tuh lebih penting. Kamu harus ngerti itu.”

Nadira menatap Andra yang sedang makan dengan tenang itu. Andra sama sekali ga berubah, masih sama seperti Andra yang kukenal dulu saat SMA… Tapi aku kan sudah menjadi pacarnya… Masa sikapnya mau sama saja seperti saat kami berteman dulu?? Dia…… dia benar-benar mencintaiku atau engga sih?

Tersadar sedang diperhatikan, Andra mengangkat kepala dan tersenyum hangat. “Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu?”

“Dra…” ucap Nadira setelah diam cukup lama, “Keberatan ga kalau aku mengenang saat masa SMA?”

Andra tertegun sesaat lalu hanya menggeleng. Masa SMA ya…

Nadira tersenyum sambil menatap vas bunga di depannya. “Waktu kelas 2 kita akrab karena aku pernah muji kamu karena kamu jago banget main gitar waktu pelajaran seni music. Dan sejak itu kamu yang sering dipanggil Ice Prince malah sering temen-temen jodohin denganku, inget ga?”

Andra tertawa pelan. “Inget… Waktu SMA aku emang pendiem en kurang bergaul, ya kan?” Andra ingat betul kalau dia memang agak jutek dan slalu bersikap dingin sehingga Andra bahkan tak mempunyai teman yang dekat. “Kemudian karena pelajaran Bahasa Inggris kita jadi sebangku… dan sejak itu aku sedikit demi sedikit mulai akrab dengan yang lainnya karena kamu…”

Nadira tersenyum. Pipinya memerah. Tidak disangka juga kalau Andra masih mengingatnya. “Kamu inget ga dengan karyawisata ke Bali waktu kelas 2? Hari terakhir kita asyik mengobrol kan di depan api unggun? Temen-temen yang lain sampai bilang kalo kita lagi PDKTan.”

Andra mengekeh pelan. “Yahh… Kamu adalah teman SMA pertama yang kuajak ngobrol sebanyak itu.”

“Oh ya?” Nadira tertawa. Tapi itu dulu… Dulu…… Sisi lain hati Nadira bukannya bahagia malah makin sedih dan terluka.

Andra menangkap mata kosong Nadira itu. “Nad?”

“Itu dulu kan, Dra…?” Nadira tertawa hambar. Ia menatap mata Andra lekat-lekat, berharap cowok itu menyadari perasaannya saat ini. Dulu aku dan Andra deket banget… menyenangkan… Rasanya dulu aku ini hanyalah satu-satunya teman ngobrol dan yang dibutuhkan Andra… Tapi sekarang… Andra udah ga kayak dulu lagi… Dia bukan Ice Prince lagi… Dia udah banyak teman… banyak sahabat…

Andra tersenyum, sama sekali tak menyadari dengan pergolakan batin yang dialami pacarnya. “Iya… sekarang untungnya aku ga seangkuh dulu lagi. Hehehe.”

Nadira menatap Andra nanar. Kenapa sih cowok ini ga peka? Apa benar kalau perasaan pasangan kita tidak peka maka itu artinya bukan benar-benar cinta?

Perasaan Nadira sudah tak dapat dibendungi lagi. Air matanya meleleh ke pipi.

“Nad?” Andra terkejut melihat reaksi Nadira padahal tadi lagi asik-asiknya ngobrol.

“Uh, maaf…” ucap Nadira sambil menghapus air mata. Dia berusaha tersenyum dengan kuat. “Kayaknya tadi aku terlalu mengenang masa lalu. Hahaha, bodoh banget ya?”

Andra terdiam, masih memperhatikan Nadira yang sibuk menghapus air mata. Andra jadi menangkap sesuatu yang salah pada cewek ini. Dia kenapa tiba-tiba nangis? Aku yakin pasti bukan karena mengenang masa lalu…

“Oh iya, aku ingat sesuatu…” sahut Nadira sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah gantungan kunci dengan boneka kucing hitam dia letakkan di atas meja. “Nih…”

Andra mengernyit menatap gantungan kunci itu.

Nadira tersenyum. Rasanya konyol dan tak berguna kalau menangis terus di depan orang yang sama sekali ga paham dengan perasaannya. “Dra, kamu inget ga saat kita ngobrol di depan api unggun waktu karyawisata ke Bali? Kita sama-sama suka kucing kan? Kamu nyeritain soal kucing kesayangan keluarga kamu yang hilang dicuri… Ng, mungkin kedengarannya bodoh, tapi hari itulah pertama… aku… aku mulai merasakan ada perasaan yang berbeda dengan kamu. Sejak itu aku menyadari kalau aku menyukai kamu… Jadi aku mau ngasih gantungan kunci ini ke kamu… Ga ada maksud lain… Aku cuma ingin kamu tau kalau sejak saat itu aku menyukai kamu. Titik.”

Andra mengambil gantungan kunci pemberian Nadira dan menatap boneka kucing itu.

Melihat Andra yang sama sekali tak mengatakan apa-apa, Nadira jadi ingin menangis lagi. Entah kenapa ia sangat mellow dan sensitive hari ini. Dia jadi mengingat semua kenangan lama dan membandingkannya dengan sekarang. Apa dia terlalu kekanak-kanakkan kalau berharap Andra bisa kembali menjadi Ice Prince seperti dulu dan bahwa hanya dia yang bisa menghangatkannya? Dan entah kenapa Nadira cemburu melihat Andra sudah berteman dekat dengan yang lainnya sehingga untuk saat ini Nadira bukanlah satu-satunya heart warmer untuk cowok itu.

Sebenernya aku ini apa di hadapan Andra…?

Air mata Nadira meleleh lagi dan kali ini Nadira tidak sanggup untuk berpura-pura kalau ia sedang terharu atau apa. Sementara di luar hujan turun dengan deras dan disertai dengan suara gemuruh petir.

“Nadira…?” Andra jadi tidak mengerti sama sekali, sebenernya apa yang sedang dirasakan cewek itu saat ini.

“Dra……” isaknya, “Apa salah kalau aku rindu sosok kamu yang dulu saat SMA?

“Nadira, maksud kamu apa?” tanya Andra tetap tenang.

“Karena sekarang… karena sekarang kamu lebih sering dengan teman dan sahabat kamu… Aku… aku merasa… sikap kamu pada mereka bahkan lebih spesial… padahal aku pacar kamu... Dan besok aku akan pergi ke Bali… ga bisa ketemu… Apa aku bisa melewatinya?” Baru akhir-akhir ini Nadira merasa kalau Andra adalah pria kedua yang paling ia sayangi setelah ayahnya, eh dia harus pergi ke Bali. Walau hanya sebulan tapi terasa begitu berat baginya. Dia berpikir kalau saat ia kembali Andra sudah berubah, melabuhkan hati pada orang lain.

Andra tersenyum lembut. Ia mengambil sapu tangannya dan mengusap sekali pipi Nadira yang basah dan kemudian ia meletakkan sapu tangan itu di atas punggung tangan cewek itu. “Aku mungkin sudah menjadi Andra yang berbeda saat SMA dulu, meskipun aku terkadang masih bersikap dingin. Kamu ga usah nangis, kita bisa melewatinya kalau hanya sebulan…”

Air mata Nadira semakin deras mendengar Andra bisa dengan entengnya menganggap sepele perpisahan selama sebulan ini. “Tapi

“Don’t cry… “ potong Andra. “I’m always love you… And I’m always your Ice Prince, never change…”

Kata-kata terakhir itu sanggup membuat Nadira berhenti menangis. Oh, akhirnya Andra mengucapkan kata kuncinya juga!! Memang, saat hendak pacaran saja Andra hanya bilang kalau ia ingin mencoba suatu hubungan lebih dari teman. Saat itu Andra sama sekali tidak bilang ‘I love you’, tapi sekarang… oh my god!!

Ah, sial, sial, sial!!!

Hani keluar dari mini market sambil menyesal sekaligus mengeluh. Sial banget aku hari ini… Dasar, Hani bodoh!!

Hani kembali mengingat kebodohan yang ia lakukan hari ini. Tadi saat pulang kuliah (dan tertabrak mobil si Cowok Sok Keren), Hani kan tidur sambil menunggu jam kerjanya. Eeehh… dia ga sadar sampai tidurnya kebablasan. Bayangin ampe jam setengah 9 malem!! Kontan manager mini market itu marah abis, dia bilang ini itu (yang jelas bukan memuji). Dia bilang kalau Hani ga becuslah, ga niat kerjalah (cuma niat dapat duitnya aja) dan sudah terlalu sering terlambat padahal pegawai baru. Dan sekalipun Hani sudah beribu-ribu minta maaf tetap saja itu tidak bisa mengubah keputusan manager untuk memecat Hani.

Akh! Sial banget sih aku hari ini… Hani ngedumel sendiri. Rasa-rasanya ingin melampiaskan marahnya dengan teriak-teriak ganggu orang lain yang happy dan ga punya masalah atau beban hidup kayak dia. (Tega banget ya)

Di depan mini market, Hani menengadah melihat langit malam yang pekat. Tidak ada bintang. Gerimis masih turun tapi ia tidak membawa payung saking buru-burunya tadi kesini.

Kakiku ditabrak… eh sekarang dipecat juga…

Wajah Hani yang tadinya kusut langsung mengeruh saat diingatnya satu nama. Wajah Hani langsung kelu. Angel… Hani menatap langit dengan sendu. Maaf ya, Angel, mungkin lain kali Kakak bisa lebih beruntung…

Hani melirik jam tangannya. Sudah jam sembilan lewat beberapa menit. Tapi hujan masih juga belum reda.

“Ah bodo amat deh…” Hani beranjak dari sana menerobos gerimis hujan. Walaupun sebenernya dia ga mau sakit tapi mau gimana lagi? Hujan ga mau berhenti sih.

Hani berjalan di trotoar dengan cepat sekalipun lututnya masih kesakitan lantaran kecelakaan kecil tadi siang. Ukh.. kalau saja lututnya tidak sakit, dia pasti bisa berjalan lebih cepat.

Dingin… Hani menggigil kedinginan, rambutnya sudah agak basah. Bajunya juga.

Tiba-tiba sebuah mobil melaju cukup kencang dan menyipratkan genangan air ke sekujur tubuh Hani.

Astaga… Hani terkejut dan menganga melihat dirinya yang kebasahan genangan air. Sebagian besar yang kena aadalah celana jeans dan bagian pinggang kaosnya. Mukanya juga kena ciprat sedikit, bahkan ia sempat merasakan rasa genangan air itu walau hanya samar-samar. Yaiks.

“Woi!!” tukas Hani berang pada mobil yang terus melaju itu, tidak peduli sama sekali. Hani memicingkan matanya penuh dendam saat ia melihat mobil Honda Jazz silver-lah yang telah menyipratkan air.

Si cowok sok keren… Dia lagi…?!

Hani menggeram kesal. Dia sudah cukup terluka dengan lututnya, sudah cukup terpukul karena ia kehilangan pekerjaan, dan sekarang… dia harus basah kuyup juga?

Kelewatan!!! Hani menyentakkan kakinya sekali. Tapi lantaran terlalu kesal dan kalap, dia sampai lupa kalau kakinya masih cidera. Hani mengerang pelan. Dia juga bersin sekali. Udah tiga kali aku sial karena dia… Hani menatap jengkel mobil silver yang makin menghilang dari pandangan mata.

Hani menggigil. Aku harus cepet pulang... jangan sampe alergiku kambuh lagi... Mulai menggigil...

Hani langsung berjalan secepat yang ia bisa menuju kosannya sebelum alergi dinginnya kambuh lagi.

“Aku pulang…” ucap Andra sambil membuka pintu rumahnya. Setelah mengantarkan Nadira pulang, pikirannya jadi agak mumet. Bayangan akan air mata Nadira yang mengalir tidak bisa enyah dari pikirannya. Entah kenapa Andra merasa kalau cewek itu tengah menangisinya yang berubah, berbeda dengan SMA. Tapi apa salahnhya kan? Toh dia berubah jadi lebih baik. Andra jadi pusing sendiri.

Di ruang tamu sudah ada Mamayang sepertinya sudah menunggunya sejak tadi. “Andra, kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang jam segini?”

“Tadi sama temen…” ucap Andra sekenanya. Dia tidak mungkin bilang kalau tadi bersama dengan Nadira. Mama pasti takkan suka mendengarnya.

“Temen yang mana? Sama anak si Febrianti itu?”

Andra menghela nafas berat. Mamanya memang slalu saja anti dengan semua yang berbau Febrianti, musuh bebuyutannya sejak SMA. “Namanya Nadira, Ma…”

Mama menarik lengan Andra untuk duduk di sampingnya. “Kan Mama udah bilang… kamu jangan temenan sama si Nadira itu… Mama gak suka. Kamu tau kan sikap Mamanya ke Mama waktu SMA?”

“Ma, tapi Nadira ga sama kayak Mamanya. Dia baik…” sahut Andra bosan setengah mati karena harus terus-terusan ngebahas beginian.

Sekali lagi, Mama mengeluarkan jurus ampuhnya untuk membuat Andra nurut : Mama pura-pura migran. “Pokoknya Mama ga mau tau… Kamu boleh berteman dengan dia tapi jangan terlalu dekat, jangan pacaran sama dia!”

“Tapi, Ma…”

Mama menatap Andra dengan seksama. “Katakan, apa jangan-jangan kamu pacaran sama dia? Iya?”

Andra tak bisa menjawab, ia memilih memalingkan matanya ke arah lain daripada membalas tatapan Mamanya. Kalau ia menjawab ‘iya’ pastinya masalah makin runyam, Mama nyuruh supaya Andra mutusin Nadira lah... ceramah segala macem lah... dan akan ada banyak ceramah tentang dunia percintaan lainnya. Andra sampai bosan.

“Andra! Jawab Mama.”

Andra langsung bangkit berdiri, muak dengan semua ini. Hari ini dia capek banget, banyak yang ia pikirkan dan bingungkan. Tadi Nadira menangis membuatnya bingung apa yang sebenernya dia tangisi, apa yang sebenernya dia mau. Dan sekarang, Mamanya... ngebahas hal yang sama sekali tidak penting.

“Iya! Andra ga pacaran sama Nadira, Mama puas?”

Mama ikut bangkit berdiri. “Bagus kalau begitu… Pokoknya kamu bawa pacar kamu ke rumah ini… Mama pengen tau kalau kamu memang bener-bener ga pacaran sama dia…” Mama menatap anaknya dengan penuh tanda peringatan. Beliau memang mempunyai firasat kalau anaknya itu sudah lama pacaran dengan Nadira. Dan kalau firasatnya benar, kenapa dia tidak menyuruh Andra membawa wanita ke rumah ini asalkan bukan Nadira, sebagai bukti bahwa anaknya ini ga pacaran dengan anak dari orang yang pernah ngegencetnya saat SMA?

Mata Andra terbelalak dan alisnya terangkat tinggi. “Untuk apa? Kenapa Andra harus bawa pacar Andra ke rumah ini?” tanya Andra jengkel, merasa mamanya korban sinetron.

Mama menghela nafas. “Nenekmu…” ujarnya lebih lembut, “Weekend ini keluarga kita diajak ke villa nenek yang ada di Lembang dan Nenek ingin melihat pacar dari cucu-cucunya.”

Andra ternganga spontan. Apa-apaan ini? “Memangnya ada acara apa sampai harus bawa pacar segala?” Ke acara pernikahan saudaranya saja Andra ga pernah ngajak Nadira... eh ini, acara yang lebih formal, malah disuruh bawa pacar.

Mama tersenyum. “Biasalah orang tua… selalu ingin tau pilihan cucunya…”

Andra tertawa hampa. Memangnya ini jaman apa sampai seorang nenek-nenek perlu tau cucunya berhubungan dengan siapa? Apa ga terlalu lebay? Toh dia masih muda, belum mau kawin ini.

Andra benar-benar tak tahan dengan semua kekonyolan ini. Dia lantas pergi dari sana menuju kamarnya setelah mengerang panjang. Pening nian kepalanya. Mama juga sepertinya tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

Bagaimana sekarang? Aku harus mutusin Nadira dan mencari pacar baru? Ini gila!! Semua kejadian hari ini bisa membuatku gila…

Dua

“Han, kaki lo kenapa?” tanya Syifa dengan alis mata yang terangkat sebelah, saat tau kalau jalan Hani tidak seperti jalan orang normal. Baginya seperti orang yang lagi ngesot.

Hani tak menjawab. Dia malas kalau harus menceritakan kisah sialnya seharian kemaren. Dia membenamkan kepalanya di atas meja kantin.

“Kenapa tuh?” tanya Fanny yang baru tiba.

Syifa angkat bahu, “Kecapean kali karna semalam baru kerja…”

Mendengar itu Hani malah merintih pelan. Kerja apanya… yang ada juga aku dipecat.

“Mau makan apa?” tanya Fanny pada 2 temannya itu.

“Gue mau makan nasi timbel aja…” jawab Syifa.

Hani mengangkat kepalanya, menunjukkan tampang mengasihankan. “Ada yang mau bayarin gue makan?” Suaranya agak serak karena flu. Semua ini tak lain karena badannya yang kebasahan semalam.

“Pass.” celetuk Syifa.

“Gue juga pass…” sahut Fanny.

Hani mendengus. Sejujurnya uang bulanannya sudah menipis… dia harus benar-benar menghemat.

“Gue pesen nasi timbel juga…” gumam Fanny, “Lo apa, Han?”

“Gue mie rebus aja deh…”

“Heh, jangan makan mie terus dong, ga sehat tauk!” celoteh Syifa.

“Iya nih… Lo makan mie tiap hari kan? Bisa bolong usus lo.” Fanny juga malah ikut-ikutan.

“Gue ga makan mie tiap hari kok…” desis Hani. Padahal di kosannya ada banyak persediaan mie instan.

Fanny hanya menghembuskan nafas kuat-kuat. Rasanya ga tega juga. “Daripada gue ngeliat usus temen gue bolong mending gue beliin lo nasi timbel juga.”

“Hah, yang bener? Lo mau traktir gue? Thanks banget!!” seru Hani seraya memeluk Fanny.

“Han, lo latihan dance hari ini?” tanya Syifa.

Hani menimang sesaat. Lututnya masih cidera, dia juga kurang enak badan karena flu. “Kayaknya engga untuk hari ini… Gue flu.” Sebenernya Hani benci, benciiii sekali kalau tidak ikut latihan dance. Di kampusnya memang ada ruang latihan khusus untuk anak klub MD (modern dance). Hani yang emang punya hobi nge-dance akhirnya ngebela-belain masuk walaupun jam latihannya yang termasuk jam malam, ampe jam 8. Apalagi Syifa dan Fanny langsung nolak mentah-mentah waktu diajak ikutan. Mereka menganggap nge-dance tidak bisa menghasilkan uang sama sekali, hanya bikin pegal-pegal dan stres karena mesti ngapalin gerakan. Sedangkan bagi Hani, dance seolah menjadi bagian dari dirinya, yang harus ia lakukan. Bukan hanya sekedar olahraga melainkan sebagai suatu kegiatan yang membuatnya senang dan dapat melupakan masalah. Syifa dan Fanny yang pernah melihat Hani nge-dance mengatakan kalau Hani seperti bukan Hani biasanya yang supel dan ceria saat menari. Kelihatan berbeda, seperti cewek yang misterius dan dingin namun berkharisma di saat yang bersamaan. Mendengar itu Hani hanya tertawa. Dia memang selalu serius kalau menari. Untuk hobinya yang satu ini, Hani siap menyediakan waktu. Dia merupakan salah satu anggota aktif di klub itu.

 

Malam itu sekitar jam delapan malam, Hani pergi ke mini market untuk membeli barang yang ‘urgent’ (tentu saja ia tidak mau ke mini market tempat ia pernah bekerja dan… dipecat). Hani lebih memilih untuk ke mini market lain walau memang jalannya lebih jauh.

Betapa terkejutnya saat ia hendak masuk ke mini market karena hampir menabrak seseorang. Tebak siapa?

“Lo…” ucap Hani tanpa suara saking kagetnya. Ia mendengus melihat si Cowok Sok Keren yang hampir saja ia tubruk. Saat ini dia pasti sedang diikuti Dewa Sial atau apa sampai 3 kali berturut-turut bertemu cowok ini. Harusnya sih dapat piring cantik, kan udah 3 kali.

Andra menoleh sebentar. Ia mengernyit sesaat lalu pergi, masuk ke dalam mini market.

Hani mengacungkan tinju sambil ngedumel tanpa suara. Pengennya aku tabok sekarang tu orang…

Hani pun ikut masuk ke dalam mini market, menjaga jarak sejauh mungkin dari cowok itu, karena pikirnya siapa tau dia ketiban sial lagi kalau berada radius 5 meter dari cowok itu. Namun ia mewaspadai cowok itu juga yang ternyata pergi ke rak softdrink.

Dia ngekos di sekitar sini? Tapi ah ga mungkin… kayaknya dia tinggal sama orangtua… Trus ngapain masih ada di sekitar kampus? Baru pulang??

Hani tertegun sesaat. Cih, ngapain aku mesti peduli. Hani buru-buru mengambil barang yang hendak ia beli : pembalut, obat flu (dia pilek lantaran kehujanan en keguyur genangan air hujan semalam), balsem (untuk lututnya yang sakit bener), dan 2 bungkus mie instan. Biasalah anak kosan, ngirit, jadi belinya yang beginian. Sialnya saat hendak ke kasir, ia hampir menubruk si Cowok Sok Keren itu. Lagi.

Mereka hanya saling menatap sesaat lalu kompak buang muka di detik yang kelima. Hani jalan duluan ke kasir, pingin lebih dulu membayar dari Andra. Dia ga mau kalo kalah dari cowok itu walau hanya urusan ngantri ginian doang.

Agak malu jugaHani meletakkan barang belanjaannya di depan kasir, yeah sementara Andra ada di belakangnya sedang menunggu dan tentu saja melihat barang yang dibeli Hani. Tau gitu dia mempersilakan cowok sok keren itu yang bayar duluan lantaran Hani malu banget kalo dia beli pembalut. Hiii... ketauan merknya kan jadinya.

Hani melirik dengan tatapan membunuh sedangkan Andra tak peduli kalau cewek di depannya sudah menahan diri setengah mati untuk ga mencak-mencak.

“Sembilan ribu delapan ratus…” ucap pelayan kasir setelah menghitung lalu memasukkan belanjaan Hani ke dalam plastik.

Hani meraba celananya dan baru sadar kalau ternyata ia memakai celana piyama dan uangnya berada di celana lain! Orang macam apa coba yang pergi ke mini market dengan menggunakan celana piyama? Hani emang kadang sedeng dan amnesia juga. Sebenernya waktu pertama kali liat, Andra udah hampir ketawa dan alisnya juga terangkat satu. Tapi Hani menterjemahkannya sebagai songong.

Muka Hani membiru. Duitnya gak ada!!! Astaga duitku...ketinggalan!!

Pelayan kasir mengernyit sesaat melihat tingkah Hani. Andra sih langsung ngeuh kalau pasti duit tu cewek ketinggalan atau apa. Lantas Andra mendorong pelan tubuh Hani untuk minggir. Hani terdorong pelan ke depan. Ia menoleh ke belakang dengan tatapan berang. Apaan coba ni cowok, ga sopan amat.

Andra meletakkan sekaleng Pocari dan sebungkus potato di meja kasir. Pelayan kasir agak bingung juga namun akhirnya ia memutuskan untuk menghitung belanjaan cowok itu dulu. “Semuanya sebelas ribu dua ratus…”

Andra mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan. Ia melirik Hani yang masih keliatan berpikir keras bagaimana caranya untuk membayar. Andra tersenyum tipis.

“Saya juga mau bayar belanjaan cewek itu…” ucap Andra.

Hani terbengong. Dia... mau ngebayarin aku??

Akhirnya pelayan kasir menyatukan barang belanjaan dua pembeli itu dalam satu plastik dan menyerahkannya pada Andra. Dalam hati pelayan kasir itu menduga-duga apa 2 orang itu adalah sepasang kekasih yang sedang musuhan? Entahlah.

Hani yang masih kebingungan akhirnya mengikuti Andra yang keluar dari mini market. “Hei…”

Andra berbalik dan hampir saja Hani tabrak. Andra memandang Hani sesaat lalu mengambil Pocari dan Potato-nya, sisanya ia berikan pada Hani.

Meski agak aneh namun Hani menerimanya saja. “Makasih…”

“Semuanya satu dollar…” gumam Andra pelan.

“Hah?” Hani benar-benar ga ngerti.

“Ga baca koran? Satu dollar itu persis dengan apa yang kamu beli barusan…” Andra tersenyum lalu berbalik pergi masuk ke dalam mobilnya.

Wajah Hani sudah terlihat seperti orang bego sekarang. Dia ga mengerti dengan jalan pikiran laki-laki. Apa hubungannya satu dollar dengan pembalut, obat flu, balsem dan mie coba?? (Hani masih belum ngeuh kalau 1 $ = Rp 9800)

Andra terbengong di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya. Ia pun mengeluarkan gantungan kunci pemberian Nadira dari laci lemari. Ia mengangkat gantungan kunci kucing itu di depan mukanya.

Andra menatap gantungan kunci itu begitu lama. Dia jadi kembali ingat dengan sikap Nadira yang tiba-tiba menangis dan bilang kalau ia merindukan Andra yang dulu, saat SMA.

Memangnya ada apa dengan aku yang dulu?

Yang dia ingat dirinya saat SMA kurang baik, maksudnya dalam segi sosialisasi dan berteman. Bukan berarti Andra yang tidak mau berteman tapi emang lantaran sifatnya aja yang dingin dan jutek. Awalnya dia sama Nadira juga ga akrab tapi karena mereka satu kelompok dalam pelajaran Seni Musik mereka jadi sering ngobrol. Waktu itu Nadira minta diiringin saat nyanyi. Kebetulan lagu kesukaan mereka sama. Cayman Island. Andra bahkan pernah membelikan roti di kelas saat istirahat di depan teman-teman Nadira! Otomatis sikap Andra yang jarang ini dianggap spesial oleh teman-teman sekelas. Sejak itu mereka dijodoh-jodohin. Akhir kelas 3, Andra minta Nadira untuk menjalin hubungan yang lebih dari teman. Entah maksudnya apa. Sejujurnya Andra juga belum ngerti yang namanya cinta. Yang jelas, dia merasa nyaman bersama dengan Nadira.

Kenapa dia nangis?

Andra menggoyangkan gantungan kunci itu sekali. Andra mengernyit tak mengerti.

Mama menatap anaknya beberapa detik sampai akhirnya berkata, “Mana pacarmu itu?”

“Pacar apa?” Andra meletakkan gantungan kunci kembali ke laci.

“Lho? Kamu sendiri kan yang bilang kalau kamu sudah punya pacar?”

Andra memutar kedua bola matanya. Dia lebih suka mamanya datang dengan menanyakan kuliahnya daripada urusan beginian. Bukan berarti dia ga mau terbuka. Tapi rasanya momennya ga pas gitu. Datang-datang langsung nanyain pacar. Serasa dia kagak laku aja. “Kapan Andra bilang gitu, Ma?”

Mama jadi keliatan bingung. “Pokoknya kamu harus ajak pacar kamu ke rumah untuk makan malam sebelum weekend ini kita ke villa nenek.”

Andra mendengus. “Andra ga akan ikut kok weekend ini…”

“Andra!” tukas Mama mulai jengkel, “Ini acara keluarga… semua sepupu kamu ikut, kakakmu ikut, masa kamu ga ikut?”

Membayangkan Vino dan sepupu lainnya yang kocak, gila dan menyenangkan, sebenernya Andra sudah tertarik. Dia yakin kalau orang-orang itu akan sanggup membuat acara keluarga menjadi tidak membosankan. Tapi kalau harus membawa pacar? Andra mana mungkin ikut! Pacarnya adalah Nadira tapi Mama ngotot ingin dia pacaran dengan orang lain. Jaman macam apa ini? Jaman Siti Nurbaya?

Mama menghela nafas. Sebelum keluar dari kamar, beliau berkata, “Ingat ya… lusa kamu bawa pacar kamu itu ke rumah, kita makan malam bareng.”

Andra langsung membanting tubuhnya di atas kasur. Kenapa hidupnya harus diatur gini? Kalo disuruh bawa Nadira ke rumah untuk dinner okelah. Tapi ini.... disuruh bawa cewek yang bukan Nadira. Mamanya pikir, Andra playboy apa, punya 2 cewek sekaligus?

Bawa pacar ke rumah?? Gimana caranya? Apa aku mesti telepon Nadira dan bilang putus? Andra geleng-geleng sendiri. Atau cari pacar baru tanpa sepengetahuan dia?

Ini gila… aku bukan tipe cowok kayak gitu…

Andra menerawang. Atau… bisa pake cara lain… ‘Menyewa’ pacar untuk sementara waktu sampai acara keluarga selesai? Tapi siapa??

Andra memilih beberapa nama cewek teman sekelasnya. Ada Sarah ataupun Marsha. Dua-duanya jomblo dan cantik… Tapi gawat kalau Nadira sampai tau… Lagian gimana kalau ternyata aku jatuh cinta sama mereka? Ngga-ngga, ngga boleh. Aku harus bisa menjaga hati sampai Nadira pulang…

Dia terdiam sambil memejamkan mata. Tiba-tiba seolah mendapat ilham, Andra langsung teringat dengan cewek yang di supermarket dan yang pernah kena timpuk tasnya. Ya, mungkin dia bisa… cewek yang bukan teman kampus, dan aku juga ga mungkin jatuh cinta sama dia.

Andra duduk bangun sambil menjentikkan jarinya. Ia tersenyum. One Dollar girl…

Hani berjalan sendirian di Taman Malaikat. Taman ini adalah satu-satunya batas antara dua kampus yang bersebelahan itu. Dinamakan seperti itu konon katanya tempat pendamai bagi mahasiswa dua kampus yang tingkat social dan entertainmentnya jelas-jelas berbeda. Di taman iniselain kantinmahasiswa kedua kampus bisa berbaur. Tak hanya karena alasan itu saja taman ini dinamakan Taman Malaikat, di tengah-tengah taman ada sebuah patung klasik malaikat setinggi dua meter (katanya sih buatan Eropa, tapi ga tau juga kalau ternyata anak Seni yang buat). Hani sangat menyukai taman ini, selain adem, melihat patung itu dia jadi ingat sama Angel.

Hani duduk di depan patung. Ia membaca buku sambil mendengarkan musik. Kuliah selanjutnya masih setengah jam lagi, dia malas kalau mesti balik ke kosan, asiknya kan kalau nunggu di taman. Dua sobatnya asyik makan di kantin. Hani udah diajak tapi Hani nolak dengan alasan kenyang (padahal lagi bokek)

Tanpa ia sadari, Andra sudah berdiri di depannya, sudah dua kali mengatakan “hei” tapi ga digubris Hani lantaran keasikan baca buku dan kupingnya juga disumpal earphone.

Budeg apa ni cewek. Karena gemas, Andra pun melepas earphone yang bertengger di telinga cewek itu. “Hei…”

Kaget, Hani mendongak. Makin kaget karena yang mencopot earphonenya bukan Fanny atau Syifa tapi si Cowok Sok Keren. “A-apa?” tanyanya karena merasa sedikit terganggu. Dia mau ngapain? Mau ngajak berantem?

“Bisa ngobrol bentar?”

Hani heran namun mengangguk saja. Ia pun berdiri, berhadap-hadapan dengan Cowok Sok Keren itu. Ngeliat tas punggung yang dipake tuh cowok, Hani jadi mengkel, kembali teringat dengan insiden dahinya yang ditampar tas itu.

Andra tersenyum. “Sebelumnya gue perkenalkan nama gue dulu. Nama gue Andra…”

Hani tersenyum ragu. “Hani…” Hani memandang cowok bernama Andra itu. Kesimpulan Hani saat melihat cowok yang satu ini belum berubah : tampan dan punya daya pikat. Aneh… kenapa dia ngajak kenalan? Masa dia…….???

“Gue mau lo jadi pacar gue…” ucap Andra dengan masih tersenyum dan menatap Hani.

Hah? Apa? Tadi aku ga salah denger kan?? Hani menatap Andra melotot setengah tak percaya. “Apa?” desisnya.

Andra mengangguk mantap membuat Hani makin ingin pingsan. Ini pertama kalinya dia ditembak cowok (ck ck) apalagi oleh cowok berkharisma kayak Andra!! Jantung Hani langsung berdetak dengan cepat, wajah memerah, dan otaknya berpikir keras. Dia suka sama… aku? Hani menelan ludah dalam-dalam. Apa dia merasakan love at the first sight gitu samaku??? Jadi… ternyata… dia suka padaku? Hah sejak kapan???

Patung malaikat yang berdiri di antara mereka pun menjadi saksi kalau Hani tidak sedang bermimpi atau salah denger. Sedang pilek bukan berarti dia bisa berhalusinasi macam-macam kan?

Astaga… apa ini saat yang tepat memiliki seorang belahan jiwa? Hani berusaha mengatur nafasnya. Ini benar-benar gila. Hani baru tau rasanya melayang ke langit ketujuh yang pernah diceritakan teman-teman segendrenya kalau sedang mabuk kepayang.Tapi cewek-cewek yang lebih cantik kan berserakan di 2 kampus ini, kenapa dia milih aku?

“Bisa kan?” tanya Andra ramah.

“Tapi kenapa?” Akhirnya pertanyaan itu berani Hani lontarkan.

Cowok itu tersenyum. “Pertama karena gue ga mungkin minta ke temen sekampus…”

Hani langsung cengo. Satu kata yang membuatnya tertohok. Minta?

“Kedua, gue yakin gue udah milih cewek yang mustahil gue bisa jatuh cinta sama dia…”

Setelah beberapa saat tercengang, Hani langsung tertawa hambar. Kayaknya ni cowok ga serius deh. Tapi berniat mempermainkan. “Ha-ha-ha… sangat menyanjung.” Hani melempar tatapan sinis pada Andra. Dia gendok 3 kilo! Dikirain tu cowok seriusan, eh nyatanya…… Tau gitu dari awal ga dia waro ni cowok.

Hani bermuka BT. “Maksud lo apa, hah?” tukasnya sebal.

“Saat ini gue butuh pacar boongan…” ucap Andra datar, seolah tak peduli kalau kalimatnya sungguh menyinggung Hani. Matanya menatap Hani lurus-lurus, “Nyokap pengen gue bawa seorang pacar besok…”

Hani mendengus pelan. Ini adalah hal yang paling ga masuk akal yang pernah ia dengar. “Trus napa mesti gue? Kita ga saling mengenal.” Hani benar-benar sakit hati mendengar kata ‘pacar boongan’ karena di kamusnya tidak ada kata pacar boongan. Kalo pacaran ya artinya seumur hidup, alias dibawa sampe kawin, ga ada deh istilah putus atau boongan gituan. Mamanya selalu mengajarkan demikian. Lebih baik menjadi cewek yang dianggap katro daripada mesti pacaran berkali-kali dan hanya merusak gaya hidup aja.

“Tadi kan gue udah nyebutin 2 alasan, belum cukup?”

Hani jengkeeeelll banget mendengarnya. Emang dia cewek apaan? Ga menarik gitu sampe dijadiin kandidat pacar boongan? Oh, makasih!! Benar-benar menyebalkan!! “Tapi sayang gue ga bersedia dengan kehormatan itu…” Sambil menahan emosi, Hani berbalik hendak pergi.

“Gue akan ngegaji lo untuk itu.” ucap Andra cepat-cepat.

Kata-kata Andra itu membuat Hani berhenti dan terdiam. Tawarannya makin menggiurkan karena tuh cowok bersedia ngegaji. Hani berbalik lagi, menatap Andra. Kalo soal duit, Hani emang lemah banget.

“Dan satu dollar yang kemarin gue anggap lunas…” lanjut Andra.

Hani maju beberapa langkah mendekati Andra. “Gue bisa bayar satu dollar itu sekarang.” bisiknya menantang. Sebel juga kalo dianggap miskin dan diungkit-ungkit utang.

Andra tersenyum. “Lo hanya jadi pacar boongan gue untuk sementara… ga akan lebih dari sebulan…”

“Ngga.”

Andra maju, mendekati Hani. Kini muka mereka hanya berjarak satu jengkal saja. Dia menatap Hani, membuat cewek itu agak bergidik. “Satu juta per bulan…”

Hani menahan nafas mendengarnya namun ia memantapkan diri. “Ngga!” Kalo dia nerima, dimanakah letak harga dirinya hah?

“Lo cuma mesti akting aja di depan keluarga gue.”

Hani langsung bersin di depan wajah Andraanggap saja ini pembalasan karena membuatnya pilek. Hani menarik nafas lalu berkata tegas, “Ngga! Ngga! Ngga! Gue bilang nggaa!!” Hani langsung berbalik cepat menampar dada cowok itu dengan tas punggungnya. Ck, dan ini pembalasan kedua. Rasakan.

Andra bengong. Ia melap mukanya yang sedikit basah. Menjijikkan. Pertama kalinya ia diperlakukan seorang wanita seperti ini.

Andra menatap kepergian Hani. Sekarang aku harus melakukan apa? Besok aku harus bawa seseorang ke rumah… Ck, tapi siapa?

Sial.

Hani berjalan cepat meninggalkan taman Malaikat. Masih ada rasa kesel tapi puas juga sudah bikin tu cowok gondok dan apes. Hehe. Yang jelas Hani ga terima sama sekali, masa dia dianggap cewek yang mustahil untuk Andra bisa jatuh cinta?!! Ini sih penghinaan. Yaaa...... memang Hani ga berharap ditembak beneran sama Andra. Tapi kaaaaannnnn..... yah sopan dikitlah, jangan semena-mena. Itu kan sama aja bilang kalo Hani tuh bukan tipe ceweknya!! Huh!!

Emang siapa dia? Beraninya menganggapku seperti itu. Dasar!

Hani malu sekali mengakui kalau ia sempat berbunga-bunga dan berdebar awalnya. Soalnya ini pengalaman pertama. Eh nyatanya!!

Ukh… tapi gajinya lumayan… Duh aku jadi pusing.

Andra duduk di kantin dengan wajah tak bersemangat. Sementara teman-temannya sedang ngebanyol, dia bengong sambil memainkan sedotan minumannya.

Hari ini adalah hari dimana ia harus membawa seorang pacar (bukan Nadira) malam ini pada sang ibu.

Hhh… sudah tak ada jalan keluar lain.

Tinggal satu sih alternative lain : Andra bisa membawa Damar dengan busana wanita ke hadapan mamanya dan berkata, “Ma, ini dia pacar yang pernah kuceritakan. Cantik kan?”

Konyol…

Atau, dia bisa membawa si cool Ridan malam ini ke rumah dan berkata dengan sangat menyesal pada mamanya bahwa ia adalah seorang gay.

Lebih menjijikkan.

Andra memegang kepalanya yang agak pusing memikirkan masalah ini terus menerus.

“Lo kenapa, Dra?” tanya Andi setelah puas tertawa dengan lelucon Damar.

Andra hanya menggeleng. Percuma aja kalau curhat ma mereka. Andra yakin betul kalau dia cerita teman-temannya pasti bakal ngakak dan menganggap itu adalah masalah sepele. Tapi tidak bagi Andra.

“Andra…”

Andra mendongak dan terkejut saat melihat Hani sudah ada di depannya. Teman-temannya juga heran dan mengingat Hani sebagai korban tas Andra beberapa hari yang lalu.

Hani tersenyum tipis, “Ada yang mau gue omongin…”

Andra mengangguk ragu dan bangkit berdiri, mengikuti Hani pergi dari kantin.

Damar dan Ridan saling lirik, bingung sementara Andi malah terkekeh-kekeh.

“Tumben dia punya urusan sama cewek selain Nadira..”

Hani dan Andra saling berhadapan di belakang kantin. Andra menatap cewek itu dengan bertanya-tanya, sebenernya apa coba yang mau diomongin cewek ini setelah bersin di depan mukanya kemarin?

“Gue…” gumam Hani sedikit deg-degan, “Gue bersedia jadi pacar boongan…”

Andra terbelalak. “Hah? Yang bener?”

Hani mengangguk pelan. Semalam dia sudah memikirkan semua ini masak-masak dan ia yakin mungkin tak apalah jadi pacar boongan, dia juga sangat membutuhkan uang saat ini. Dan selama masih menjaga diri, dia yakin takkan terjadi apa-apa.

Andra tersenyum girang. Tak ia sangka ia mendapatkan pacar boongan beberapa jam sebelum makan malam nanti. “Oke… Hari ini lo kuliah sampai jam berapa?” tanyanya ga mau basa basi lagi.

Hani tertegun sesaat, “Ng, sampai jam 5, memang kenapa?”

“Nanti gue jemput.” Andra buru-buru mengeluarkan handphone.

“Jemput?” Hani ga ngerti sama sekali.

“Nanti juga lo tau…” Andra memberikan handphonenya, “Nih. Ketik nomor lo disana biar bisa gue hubungi.”

Hani sih menurut saja walau ia masih penasaran kenapa Andra ingin menjemputnya nanti. Aneh…

Setelah Hani mengetikkan nomornya, Andra langsung menyimpan nomor itu dalam nama : One Dollar.

Jam lima kurang lima menit, Andra sudah bulak balik mengSMS Hani. SMS terakhir menyatakan kalau Andra sudah menunggu Hani di pakiran dekat gedung fakultas tempat Hani kuliah. Maka seusai dosen mengakhiri perkuliahan, Hani langsung ngacir keluar dari kelas (bahkan lebih dulu dibandingkan dosen yang bersangkutan) membuat Syifa dan Fanny terbengong-bengong heran dengan kecepatan Hani.

Hani berlari kecil mendekati Andra yang sedang berdiri dekat mobil Honda Jazz silver yang pernah nabrak kaki Hani dan menyiramnya dengan genangan air hujan ^^;; Hani sebetulnya punya dendam pribadi, bukan hanya pada si pemilik mobil melainkan pada mobilnya juga!!!

“Ada apa?” tanya Hani tanpa basa basi. Dia heran napa cowok ini kayak yang kebelet banget…

“Gue mau ajak lo ke rumah gue…” ucap Andra datar.

“Haaah?” Hani menganga impuls. Baru beberapa jam yang lalu jadi pacar boongan dia, tapi udah diajak main ke rumah?! Pacar boongan atau pacar beneran??

“Jangan GR dulu…” ucap Andra dingin membuat Hani naik pitam, “Sebenernya sejak beberapa hari yang lalu nyokap minta supaya pacar gue ke rumah buat dinner… dan itulah alasan gue minta lo jadi pacar boongan…”

Hani ingin sekali meneke cowok satu ini, cowok yang sangat dingin, sulit ditebak dan tidak ramah. Kata-katanya nyelekit, ga pernah bikin Hani tersenyum.

Andra melihat jam tangannya. “Mending kita langsung cabut aja, nyokap udah nunggu.”

“Iye!” tukas Hani sebal sambil berjalan menuju mobil. Uh… pekerjaan macam apa ini? Menyebalkan.

Selama di perjalanan baik Hani maupun Andra sama sekali tidak berbicara. Hani masih dongkol banget dengan perlakuan Andra yang cenderung ujug-ujug dan seenaknya. Sampai saat ini pun Hani masih menanti kalau-kalau Andra nyadar diri dan minta maaf karena pernah membuatnya sial beberapa kali! Tapi lantaran iming-iming gaji, Hani bersedia untuk sabar tuh.

Mobil itu pun berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gaya minimalis. Andra yang keluar duluan dari mobil.

Entah kenapa Hani merasa dadanya berdebar. Kenapa aku yang jadi deg-degan?? Aku kan cuma pacar boongan dia… Oke, Hani, rileks… Semua yang akan dia lakukan dan yang akan terjadi hanyalah akting, fiktif belaka…

Andra melirik Hani yang baru keluar dari mobil. Penampilan Hani memang jauh dari kata persiapan. Hani memakai T-Shirt biru langit bergambar Doraemon, celana jeans dan sepatu warior. Oh my… Tapi Andra justru senang akan hal itu… Siapa tau kan dari ‘penampilan’ Hani yang begini, Mamanya akan ilfeel. Nah dengan demikian Andra ga perlu repot-repot memperpanjang umur pacar boongannya, toh Mamanya udah ilfeel.

“Oh ya, sebelum gue lupa, nama lo siapa?” tanya Andra.

“Hani...” sahut Hani agak sebal. Namanya begitu gampang diingat tapi kenapa Andra bertanya sampai dua kali sih.

“Ayo masuk…” ucap Andra pelan.

Hani mengangguk dan mengikuti Andra menuju pintu. Belum Andra membuka pintu, pintu sudah dibuka duluan oleh orang dalam.

Seorang wanita tinggi, cantik, kulit sawo matang, membuka pintu. Matanya membesar saat melihat Andra, adiknya dan seorang wanita yang ia anggap pacar Andra. Belinda tersenyum tipis.

“Siapa, Bel?” tanya seseorang dari dalam. Andra tau itu suara mamanya. “Andra?”

“Iya, Ma…” seru Belinda. Cewek yang sedang memasuki kuliah tingkat akhir itu tersenyum angkuh dan kemudian melenggang masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Hani sama sekali. Terdengar samar-samar suara Belinda yang mengatakan, “Ck… ini kan mau dinner… kok bajunya gitu sih…”

“Ayo masuk…” gumam Andra rendah.

Hani hanya bisa mengelus dada, ternyata benar kan, adik dan kakak sama saja, sama-sama judes. Hani hanya berharap kalau ibu mereka tidak demikian.

Andra mengajak Hani langsung ke ruang makan. Gila juga, baru dateng langsung disuruh makan, bener-bener ga ada basa basi ni orang. Emang niat bikin mamanya puas aja.

“Andra…” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya keluar dari dapur dan menyambut mereka berdua. “Ini pacar kamu?”

“Iya, Ma…” sahutnya sambil duduk di salah satu kursi.

“Siapa namanya? Kenalin dong…” kata Mama sambil tersenyum sangat ramah pada Hani.

“Nama saya Hani, Tante…” ucap Hani juga balas ramah karena melihat tanda-tanda bahwa wanita itu lebih mempunyai aura positif ketimbang anaknya ^^;

“Honey-Sayang maksud kamu?”

“Ngga, Tante… Hani, H-A-N-I…”

Mama Andra tertawa. Beliau terlihat sangat gembira dan seolah menerima Hani dengan sangat terbuka. Belinda juga tak menyangka kalau mamanya tidak membahas pakaian Hani dan mencelanya padahal Mama yang paling cerewet kalau Belinda berpenampilan cuek. Eeh ini, pacar si Andra ga diapa-apain sama sekali karena penampilannya yang cuek dan saltum itu. Andra juga memandang ibunya dengan tidak percaya. Apa selama ini selera ibunya memang rendah??

Mereka pun mulai makan malam walau ayah Andra tidak ikut serta karena sedang berada di luar kota.

“Gimana, Han, enak ga masakan Tante?” tanya Mama Andra semangat betul.

Hani mengangguk. “Enak banget, Tante, udang saus tiramnya…”

“Ah yang bener?” Mama terlihat malu sementara Belinda dan Andra makan anteng.

“Iya, Tante… Hani ga boong.”

Mama tersenyum. “Ya ampun baru kali ini lho Tante dipuji kalau masakan Tante ini enak…” Mama melirik pada kedua anaknya dengan kecewa, “Anak-anak Tante saja ga pernah muji Tante segitunya…”

Andra dan Belinda hampir tersedak mendengar itu. Mereka langsung pura-pura biasa dan tersenyum saja.

“Coba sekali-kali Tante jangan masak deh…” gumam Hani sambil tersenyum jail, “Biar mereka rasain gimana ga enaknya kalau ga ada yang masakin… Nah, saat-saat kayak gitu pasti deh mereka muji Tante kalau masakan Tante enak banget…”

Hening beberapa saat sampai akhirnya Mama Andra tertawa. Andra dan Belinda melempar pandangan maut pada Hani yang malah cengengesan, merasa puas udah ngerjain orang.

“Oke juga…” ucap Mama masih setengah tertawa, “Lain kali bisa dicoba.”

“Mama aahhh…” rengek Belinda. Walau memang dia tidak pernah memuji masakan mamanya tapi kalau karena itu mamanya ga mau masak lagi, dia ga nerima.

Hani tersenyum. “Hani kan ngekos, Tante, jadi kalau dimasakin kayak gini Hani seneng banget, kayak di rumah sendiri… Hehehe.”

“Oh kamu ngekos?” tanya Mama.

“Iya. Hani orang Lembang sana, Tante…”

Mama mengangguk-angguk. Andra juga baru tau kalau Hani dari Lembang, weekend ini kan keluarga mereka akan ke villa nenek yang di Lembang.

Mama menatap Andra sambil berkata, “Andra, kamu harus sering-sering bawa pacar kamu ke sini ya… Dia kan ngekos jadi pasti kesepian… Kamu harus sering-sering bawa dia kesini untuk makan malam.”

Andra melongo tak percaya. Napa jadi gini sih? Harusnya Mamanya kan ilfeel sesuai dengan perkiraan dia, tapi ini kok…???? Dan dia disuruh sering-sering ngajak Hani ke sini? Oh no!!!

Hani hanya nyengir saja melihat air muka Andra yang syok itu. Hani tertawa dalam hati. “Tante, Hani tambah lagi nasinya ya…”

“Iya tambah aja…” ucap Mama makin senang karena masakannya laku keras.

Hani sih cuek aja dia makan dengan porsi yang cukup besar. Bayangin aja dia tambah ampe 2 piring!! Belum terhitung jumlah ikan, ayam, daging panggang yang ia habiskan. Belinda sampai nelen ludah ngeliatnya. Dia jadi inget kalo di undangan kawin dia kadang melihat ada orang yang makannya juga kayak gitu, serasa rugi kalau makannya dikit.

Andra berharap lewat hal ini mamanya ilfeel lantaran Hani yang doyan makan dan ga jaga image itu. Ck ck… Tapi toh ternyata tidak. Mamanya malah senang dan tertawa saja melihat Hani yang semangat makan itu.

Setelah makan Hani diajak mengobrol di ruang keluarga. Ya ampun… Andra ingin semua ini berakhir dengan cepat. Dinner aja kan?? Ga usah pake embel-embel ngobrol segala… karena pastinya ngaler ngidul.

“Hani, Sabtu ini ada acara keluarga di villa nenek Andra, kamu ikut ya…” ucap Mama.

“Hah? Kalo acara keluarga kayaknya Hani ga perlu ikut deh, Tante…” sahut Hani merasa tak enak.

“Lho ga apa-apa. Nenek Andra memang meninta supaya cucu-cucunya datang bersama dengan pacar. Jadi Tante harap kamu bisa ikut ke Lembang…”

Hani tersenyum hambar. Dia melirik Andra yang anteng nonton TV, ga mau terlibat sama sekali. Hani memelototi Andra… Napa dia ga bilang!!!!

“Tapi tetep aja Hani merasa ga enak… Hani kan baru jadian sama Andra…” sahut Hani masih berusaha untuk tidak ikut.

Andra melirik Hani, baginya statement barusan ampuh juga. Ternyata lihai juga dia dalam mencari alasan…

Belinda pun ikut-ikutan nguping walau pura-pura ga peduli karena sedang menghirup kopi mokanya.

“Ga apa-apa kok kalau baru jadian…” ujar Mama, “Tante sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga ini juga…”

Andra terbatuk-batuk mendengarnya, Belinda bahkan sampai memuntahkan kopi saking kagetnya. Hani hanya tertawa hambar melihat respon kakak beradik itu. Dia juga terbelalak horor sedetik setelah mendengar statement ga wajar itu.

“Belinda, kamu kalau minum pelan-pelan dong…” tukas Mama karena Belinda sukses mengotori karpet.

Andra dan Hani saling pandang. Hani nyengir gugup. Gila ya keluarga ini… Belum apa-apa masa udah diajak ke keluarga besar. Ga liat apa aku ga masuk kriteria ‘cewek’??

Jam setengah 9 malam akhirnya Hani diijinkan pulang. Andra disuruh mamanya untuk mengantar Hani pulang, padahal tadi Andra sudah berniat nyuruh Hani pulang sendiri.

“Nyokap lo aneh ya…” ucap Hani saat mereka di teras hendak menuju mobil.

“Aneh apanya?”

“Ya aneh aja… Masa gue dibiarin gitu aja pacaran sama anaknya. Apa dia ga merasa rugi?”

Andra mengangkat bahu. “Ga tau. Perasaan selera nyokap gue ga rendah deh…” Andra agak menyayangkan dengan sikap ibunya yang lebih ramah pada Hani dibandingkan pada Nadira. Nadira memang belum pernah ke rumah ataupun bertemu langsung dengan Mama, tapi kenapa Mama terang-terangan tidak menyukai Nadira hanya karena ia anak dari musuh lamanya saat SMU? Dendam oh dendam… kapankah ada perdamaian.

Hani hanya tersenyum namun beberapa detik kemudian ia sadar dengan makna kata-kata Andra barusan. “Heh, maksud lo apa!”

Cowok itu malah nyengir lalu masuk ke dalam mobil.

Hani memandang Andra dengan sebal. Huh, awas tu orang ya…

Selama di perjalanan, Andra yang Hani sangka sebagai tipe cowok cool dan pelit ngomong, terus-terusan berbicara. Andra mengatakan hal-hal yang boleh dan tidak boleh Hani lakukan saat di villa nanti dan hal-hal yang harus dibawa Hani.

“Lo harus bersikap layaknya putri kalo di depan nenek… Kayaknya sih Nenek suka sama cewek yang feminine.. Soalnya semua sepupu cewek gue girly ... ga ada yang….” Ucapan Andra tertahan dan ia hanya mengerling pada Hani.

“Ga ada yang apa?” tukas Hani tau kata-kata yang disensor Andra barusan.

Andra angkat bahu. “Nanti di sana lo bakal ketemu sama sepupu-sepupu gue.. Ada Vino, Marco, Reyhan dan yang lainnya… Tiga nama yang barusan gue sebutin emang sedikit tengil dan jail… Kayaknya mereka juga bakal bawa pacar mereka…”

Hani malah gosok-gosok hidung, terlihat mengacuhkan semua yang Andra katakan. Tapi sepertinya Andra tidak sadar, dia malah terus berbicara.

“Karena kita bakalan nginep sampai Minggu malam jadi lo harus bawa perlengkapan menginap lo… Besok gue akan jemput lo jam tujuh tepat di depan kosan.”

Hani mendengus pelan. “Napa pagi amat sih?”

“Kita harus sampai villa besok siang, apalagi biasanya Lembang suka macet kalo hari Sabtu.”

“Ya ya ya…”

“Inget ya, besok jam tujuh!”

Tidak ada komentar: